Opini
Opini: Sumpah Pemuda, Nasionalisme dan Bahasa
Karena hanya dengan memelihara keberagaman, ikatan persatuan menjadi berdasar. Karena kisah nasionalisme pada akhirnya tidak tunggal.
Dalam Imagined Communities, Anderson melanjutkan bahwa para pemuda terdidik ini, selain merupakan pihak yang bergerak dan secara umum dapat digolongkan sebagai salah satu kelompok penting dalam perlawanan terhadap kolonialisme, adalah juga pihak yang alami keterasingan: berbeda dari leluhur mereka karena mengenyam pendidikan Eropa, juga berbeda dari sebaya mereka yang tidak terdidik.
Dari pengaruh lembaga pendidikan dan perjumpaan para pemuda di lembaga-lembaga tersebut dengan orang-orang sebaya mereka dari wilayah berbeda di daerah administratif kolonial, Anderson
melanjutkan refleksinya bahwa peristiwa Sumpah Pemuda berperan penting dalam memperkokoh peran bahasa persatuan sebagai sarana untuk menghasilkan imagined community.
Meski tidak menulis persis bahwa peristiwa tersebut adalah Sumpah Pemuda, dengan menampilkan peran pemuda dalam sejarah pergerakan nasional melalui peristiwa Sumpah Pemuda, pengabaian Kahin pada peristiwa Sumpah Pemuda dikoreksi Anderson.
Dengan menekankan peran bahasa, nasionalisme digerakkan ke titik yang paling populer.
Nasionalisme, pada akhirnya, bukan lagi apa yang digulirkan para elite, bukan juga apa yang digerakkan para pemuda, melainkan apa yang secara elastis mengikat orang-orang dari berbagai daerah dan berbagai latar belakang bahasa ibu untuk membayangkan dan memperkokoh bayangan tentang komunitas bersama bernama Indonesia dalam sebuah bahasa bersama, apa yang menggerakkan mereka secara bersama menyeberangi arus waktu yang homogen dan hampa itu.
Dalam semangat Sumpah Pemuda, di tengah kenyataan bahwa bahasa Indonesia sedang menggerus keberagaman bahasa daerah dalam berbagai fasetnya, Sumpah Pemuda perlu kita maknai kembali.
Bahasa Indonesia hanya berguna jadi bahasa persatuan karena ada bahasa-bahasa ibu lainnya. Karena itu, kemajemukan yang tersembunyi di balik persatuan mesti tetap kita jaga dan pelihara.
Perasaan inferior ketika berbahasa daerah di ruang publik, misalnya, mesti mulai kita tinggalkan.
Karena hanya dengan memelihara keberagaman, ikatan persatuan menjadi berdasar. Karena kisah nasionalisme pada akhirnya tidak tunggal, bukan homogeneous empty time, tetapi juga dibentuk oleh narasi yang retak, yang terpinggirkan, yang majemuk, yang tersembunyi. (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.