Opini
Opini: Sumpah Pemuda, Nasionalisme dan Bahasa
Karena hanya dengan memelihara keberagaman, ikatan persatuan menjadi berdasar. Karena kisah nasionalisme pada akhirnya tidak tunggal.
Inilah salah satu alasan awal Anderson menulis karyanya berjudul Java in a Time of Revolution, yang sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia menjadi Revoloesi Pemoeda.
Dengan kata lain, karya Anderson awal adalah perbesaran terhadap salah satu bagian narasi sejarah revolusi yang sebelumnya telah ditampilkan Kahin.
Dalam buku Revoloesi Pemoeda, ada sejumlah tawaran wacana lain atas wacana sebelumnya yang disodorkan Kahin.
Revoloesi Pemoeda dibuka dengan diskusi tentang rentang kategori usia pemuda di kalangan masyarakat Jawa, sistem pendidikan tradisional pesantren dan keadaan kolonial Jepang yang membentuk pemuda.
Pembahasan Anderson bergerak ke pengaruh-pengaruh lembaga bentukan Jepang, yang pada bagian tertentu, mirip pesantren.
Dalam pembahasan ini, pemuda yang masif dan anonim mulai bergeser dan dikerucutkan kepada beberapa nama pemuda dari golongan elite dan lembaga-lembaga yang membesarkan mereka.
Namun, pada bagian ini, penjelasan tentang pengalaman nasionalisme yang dirasakan para pemuda dari golongan elite, di lembaga-lembaga pendidikan, sebagaimana disampaikan Kahin dalam karya sebelumnya, digeser Anderson.
Jika dalam karyanya Kahin percaya pendidikan Barat dan pengalaman kolonialismelah yang menumbuhkan rasa nasionalisme dalam diri para elite Indonesia, dalam Revoloesi Pemoeda, Anderson menambahkan bahwa nasionalisme dalam diri para elite tumbuh bukan saja berkat pendidikan modern Barat, melainkan juga melalui pendidikan masyarakat tradisional yakni pesantren.
Para elite yang dimaksudkan Anderson tentu saja para elite yang datang dari kelompok pemuda, kelompok yang menurutnya memainkan peranan terbesar dalam revolusi, bukan kelompok elite sebagaimana ditampilkan dalam narasi Kahin.
Para elite yang muncul dari antara para pemuda adalah para elite yang tidak hanya mengalami keterasingan sebagaimana ditunjukkan Kahin, tetapi juga yang mengecap sendiri pahit getir revolusi bersama teman sebaya mereka.
Dalam pengalaman penjajahan Jepang, pemahaman implisit tentang nasionalisme yang diperoleh para pemuda dari lembaga pendidikan zaman Belanda bertemu wujud eksplisitnya melalui bentuk organisasi-organisasi pemuda yang didirikan Jepang.
Pergolakan golongan pemuda dengan golongan tua, sebagai akibat dari dinamika perpolitikan masa kependudukan, juga kegelisahan menyongsong masa depan baru, berpuncak pada kegagalan Gerakan Rakyat Baru.
Kegagalan gerakan di ambang masa pemerintahan kolonial Jepang ini menandai dimulainya era baru gerakan yang regulasi-regulasinya tidak lagi ditetapkan pemerintah kolonial, tetapi oleh kebutuhan-kebutuhan masing-masing organisasi untuk mendefinisikan gerakan berdasarkan ideologi yang dianut dan kepentingan yang dituju.
Dengan menggeser aktor revolusi dari elite ke pemuda, narasi besar yang beredar mendapat versi alternatifnya.
Dalam narasi tentang perumusan teks Proklamasi, misalnya, susunan teks yang dianggap memuaskan golongan politisi tua tersebut justru diprotes golongan pemuda karena dianggap berhati-hati dan kompromistis.

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.