Opini
Opini: Mengembalikan Trust dalam Pemilu
Ketika suara tidak lagi lahir dari nalar, melainkan dari pesona, harta, atau retorika, maka demokrasi tak lebih dari arena hiburan.
Sumber masalahnya juga terletak pada lemahnya rekrutmen dan kaderisasi partai politik.
Banyak kandidat maju bukan karena kapabilitas, tetapi karena kedekatan dan modal. Partai yang seharusnya menjadi sekolah politik justru sering menjadi gerbang transaksional.
Ketika proses seleksi kandidat tidak meritokratis, publik sulit percaya. Ketika publik sulit percaya, trust semakin tipis.
Politisasi identitas memperparah keadaan. SARA dijadikan alat kampanye, bukan batas etika. Polarisasi meluas.
Masyarakat terbelah bukan oleh perbedaan gagasan, melainkan oleh label dan identitas yang dipertentangkan.
Alexis de Tocqueville, dalam Democracy in America (1835), mengingatkan bahwa demokrasi bertahan bukan karena semua orang sepakat, tetapi karena mereka percaya pada mekanisme untuk menyelesaikan perbedaan.
Ketika kepercayaan itu retak, polarisasi tak lagi bisa dikelola. Pemilu menjadi pemicu luka, bukan perayaan kebangsaan.
Situasi ini mengharuskan adanya counter-culture politik. Literasi digital dan politik menjadi benteng utama.
Pemilih, terutama kelompok muda, perlu diberi ruang belajar untuk memilah kabar, memahami program, dan mendiskusikan masa depan.
Media sosial seharusnya menjadi ruang deliberasi, bukan sekadar panggung amplifikasi kemarahan. Trust bisa tumbuh jika informasi jernih dan publik merasa dilibatkan secara bermakna.
Menata Ulang Ekosistem: Kelembagaan, Pendidikan Pemilih, dan Politik Gagasan
Mengembalikan trust dalam pemilu bukan tugas satu pihak, tetapi butuh kerja kolektif dari penyelenggara pemilu, peserta pemilu, dan masyarakat sebagai pemilih.
Penyelenggara memegang peran strategis. Peserta pemilu juga harus menata ulang panggung politik. Politik gagasan harus dikembalikan ke jantung kampanye.
Calon pemimpin seharusnya bicara tentang kebijakan publik, soal pendidikan, kesehatan, ekonomi, lingkungan, infrastruktur, keadilan sosial, dan masa depan digital.
Gagasan yang konkret dan terukur menunjukkan keseriusan. Gagasan yang konsisten melahirkan trust.
Figur yang menampilkan gagasan kuat akan bertahan lebih lama daripada mereka yang hanya bersandar pada pesona sesaat.
Masyarakat sebagai pemilih pun punya peran menentukan. Data KPU menunjukkan, pemilih muda, terutama generasi milenial dan Gen Z, mencapai 56 persen pada Pemilu Indonesia 2024.
Kelompok ini memiliki daya ubah besar. Mereka terbiasa dengan teknologi, terbuka terhadap diskusi, dan tidak terlalu terikat pada
patron lama.
Jika mereka diberi pendidikan pemilih yang sungguh-sungguh, trust bisa dibangun dari lapisan terbawah demokrasi.
Program “KPU Mengajar” yang digaungkan KPU Provinsi Nusa Tenggara Timur menjadi salah satu pintu masuk yang strategis.
Selama ini, sosialisasi pemilu lebih banyak berbicara soal tanggal pencoblosan dan hak-hak dasar.
Itu penting, tetapi belum cukup. Mengajar berarti melibatkan warga dalam percakapan politik yang lebih dalam, soal bagaimana janji politik bisa diterjemahkan menjadi kebijakan, soal bagaimana kebijakan berdampak pada kehidupan sehari-hari.
Program ini membutuhkan perencanaan matang mengenai kurikulum, kelompok sasaran, jam belajar, metode partisipatif, serta mekanisme evaluasi.
Indeks Partisipasi Pemilihan 2025 sekitar 61,94 persen di kabupaten/kota dan 60,97 persen di provinsi, memberi sinyal bahwa masih ada ruang luas untuk memperluas cakupan pendidikan pemilih.
Trust tidak hanya tumbuh dari pidato dan baliho. Trust tumbuh dari kedekatan sehari-hari. Dari politisi yang hadir di luar musim kampanye. Dari penyelenggara yang transparan dalam langkah-langkah kecil.
Dari warga yang mau belajar dan bertanya. Ketika tiga elemen ini saling bertemu, trust akan kembali mengisi ruang demokrasi.
Politik gagasan pun perlahan akan menggantikan politik identitas. Publik akan lebih menghargai visi masa depan ketimbang atribut.
Lebih tertarik pada rencana kebijakan ketimbang amplop. Lebih percaya pada konsistensi ketimbang pencitraan sesaat.
Dalam atmosfer seperti ini, figur yang benar-benar dipercaya akan terpilih bukan karena retorika, tetapi karena integritas. Pemilu, pada akhirnya, hanyalah alat.
Ruh dari alat itu adalah trust, kepercayaan yang mengikat rakyat dan pemimpin dalam satu simpul tanggung jawab.
Rakyat menitipkan masa depan melalui selembar suara, pemimpin menerima titipan itu dengan janji untuk menjaganya.
Bila trust dirawat, melalui proses yang jernih, kampanye yang mencerdaskan, dan warga yang kritis, pemilu tak lagi sekadar pesta lima tahunan tetapi menjelma peristiwa politik yang bermartabat.
Melalui bilik suara, tempat segala hiruk-pikuk kampanye berakhir, rakyat berdiri sebagai pemilik tunggal kedaulatan. Di titik itu, suara bukan sekadar pilihan, melainkan sebuah pesan.
Pesan bahwa trust tidak bisa diperjualbelikan. Pesan bahwa masa depan tidak boleh ditukar dengan uang receh. Pesan bahwa hanya mereka yang benar-benar dipercaya, yang pantas menerima amanah. (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.