Opini

Opini: Mengembalikan Trust dalam Pemilu

Ketika suara tidak lagi lahir dari nalar, melainkan dari pesona, harta, atau retorika, maka demokrasi tak lebih dari arena hiburan. 

Editor: Dion DB Putra
DOKUMENTASI PRIBADI BAHARUDIN HAMZAH
Baharudin Hamzah 

Ketika trust hadir, pilihan tidak ditentukan oleh amplop atau slogan, pilihan lahir dari nurani, dari ingatan pada rekam jejak, dari keyakinan bahwa mandat akan dijaga untuk kesejahteraan bersama. 
Sebaliknya, ketika trust lenyap, demokrasi hanya tinggal kulit.

Politik dan Makna Trust: dari Plato ke Kesadaran Warga

Plato memberikan kritik yang tajam bahwa bangsa yang malas berpikir akan menyerahkan masa depannya kepada pilihan yang keliru. 

Demokrasi tidak bisa hidup di antara rakyat yang pasif. Demokrasi hanya bernapas jika rakyat aktif menguji janji, mengkritisi retorika, dan mengenali wajah asli kekuasaan.

Dalam konteks Indonesia, tantangan ini menjadi lebih luas. Demokrasi kita relatif muda. Dalam hitungan sejarah, baru dua dekade lebih. 

Kita masih membawa warisan panjang budaya politik Orde Baru, budaya yang membentuk cara pandang pemilu sebagai kontestasi menang-kalah semata, bukan proses membangun kepercayaan. 

Dalam ingatan kolektif, pemilu identik dengan kampanye meriah, spanduk tinggi, arak-arakan, dan janji yang mudah dilupakan sehari setelah pencoblosan. 

Gagasan jarang benar-benar diadu, suara rakyat sering hanya menjadi target, bukan mitra dialog. Karena itu, pendidikan politik menjadi sebuah kebutuhan mendesak.

Robert A. Dahl dalam Democracy and Its Critics (1989) menekankan bahwa partisipasi bermakna hanya mungkin lahir ketika warga punya akses informasi, ruang deliberasi, dan kemampuan menilai. 

Dalam konteks trust, pendidikan politik berfungsi seperti akar pada pohon demokrasi, tak terlihat di permukaan, tetapi menyangga seluruh batangnya. 

Jika akar ini rapuh, satu hembusan angin money politics atau populisme bisa merobohkannya. Pendidikan politik yang dimaksud bukan sebatas hafalan jadwal pemungutan suara atau pengenalan daftar calon. 

Pendidikan politik adalah proses panjang membangun kesadaran, mengenali perbedaan antara janji dan kebijakan, membedakan retorika dan rekam jejak, menilai siapa yang berkomitmen dan siapa yang hanya bersandiwara. 

Ketika publik memiliki kemampuan menilai dengan jernih, trust tumbuh secara alami. Sehingga trust yang lahir dari kesadaran jauh lebih kuat dibanding trust yang dibangun di atas retorika kosong. 

Sayangnya, dalam praktiknya, banyak pemilih masih menempatkan politik sebagai ajang pragmatisme.

Mereka memilih bukan karena yakin terhadap visi, melainkan karena ada imbalan sesaat seperti uang, sembako, atau sekadar janji jabatan kecil.

Halaman 2/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved