Opini
Opini: Mengembalikan Trust dalam Pemilu
Ketika suara tidak lagi lahir dari nalar, melainkan dari pesona, harta, atau retorika, maka demokrasi tak lebih dari arena hiburan.
Oleh: Baharudin Hamzah
Anggota Komisi Pemilihan Umum Provinsi Nusa Tenggara Timur
POS-KUPANG.COM - Di bilik suara yang sunyi, suara sekecil apa pun punya arti. Pemilu, pada hakikatnya adalah tentang trust.
Rakyat percaya mandat itu akan dijaga, pemimpin percaya rakyat menggunakan suaranya dengan kesadaran.
Begitu trust rapuh, pemilu hanya menjadi angka di atas kertas, pesta tanpa makna.
Hari ini, tanda-tandanya terlihat jelas, transaksi menggantikan dialog, sensasi menenggelamkan gagasan, dan politik terasa seperti pasar malam, ramai tapi kosong.
Karena itu, kita perlu kembali ke pertanyaan yang sering dilupakan, apa yang sesungguhnya sedang dipertaruhkan ketika seseorang melipat surat suara?
Baca juga: Jokowi Bantah Penundaan Pemilu 2024 untuk Perpanjang Masa Jabatan
Plato, dua ribu tahun silam, sudah mengingatkan. Dalam The Republic, filsuf Yunani itu menulis bahwa politik bukan semata urusan prosedur, melainkan kualitas jiwa manusia. Demokrasi, katanya, mudah goyah ketika orang berhenti berpikir.
Ketika suara tidak lagi lahir dari nalar, melainkan dari pesona, harta, atau retorika, maka demokrasi tak lebih dari arena hiburan.
Dari sinilah awal kerusakan negara, bukan karena tirani pemimpin jahat tetapi karena rakyat salah memilih.
Pendidikan politik, bagi Plato, bukan pelajaran teknis, melainkan latihan mencintai kebenaran.
Tanpa latihan itu, demokrasi menjadi pasar gelap: janji dijual, kebohongan laris, dan masa depan digadaikan pada kata-kata.
Peringatan itu bukan sekadar kutipan klasik, ini nyata dalam denyut politik kita hari ini.
Indonesia telah menyepakati pemilu sebagai jalan sirkulasi kekuasaan. Rakyat memilih DPR, DPD, DPRD, juga presiden dan kepala daerah.
Kedaulatan dibunyikan melalui pemungutan suara langsung. Namun makna terdalamnya bukan ritus lima tahunan.
Pemilu adalah peristiwa politik yang sakral untuk rakyat menitipkan kuasa. Titipan itu bernama trust.
Ketika trust hadir, pilihan tidak ditentukan oleh amplop atau slogan, pilihan lahir dari nurani, dari ingatan pada rekam jejak, dari keyakinan bahwa mandat akan dijaga untuk kesejahteraan bersama.
Sebaliknya, ketika trust lenyap, demokrasi hanya tinggal kulit.
Politik dan Makna Trust: dari Plato ke Kesadaran Warga
Plato memberikan kritik yang tajam bahwa bangsa yang malas berpikir akan menyerahkan masa depannya kepada pilihan yang keliru.
Demokrasi tidak bisa hidup di antara rakyat yang pasif. Demokrasi hanya bernapas jika rakyat aktif menguji janji, mengkritisi retorika, dan mengenali wajah asli kekuasaan.
Dalam konteks Indonesia, tantangan ini menjadi lebih luas. Demokrasi kita relatif muda. Dalam hitungan sejarah, baru dua dekade lebih.
Kita masih membawa warisan panjang budaya politik Orde Baru, budaya yang membentuk cara pandang pemilu sebagai kontestasi menang-kalah semata, bukan proses membangun kepercayaan.
Dalam ingatan kolektif, pemilu identik dengan kampanye meriah, spanduk tinggi, arak-arakan, dan janji yang mudah dilupakan sehari setelah pencoblosan.
Gagasan jarang benar-benar diadu, suara rakyat sering hanya menjadi target, bukan mitra dialog. Karena itu, pendidikan politik menjadi sebuah kebutuhan mendesak.
Robert A. Dahl dalam Democracy and Its Critics (1989) menekankan bahwa partisipasi bermakna hanya mungkin lahir ketika warga punya akses informasi, ruang deliberasi, dan kemampuan menilai.
Dalam konteks trust, pendidikan politik berfungsi seperti akar pada pohon demokrasi, tak terlihat di permukaan, tetapi menyangga seluruh batangnya.
Jika akar ini rapuh, satu hembusan angin money politics atau populisme bisa merobohkannya. Pendidikan politik yang dimaksud bukan sebatas hafalan jadwal pemungutan suara atau pengenalan daftar calon.
Pendidikan politik adalah proses panjang membangun kesadaran, mengenali perbedaan antara janji dan kebijakan, membedakan retorika dan rekam jejak, menilai siapa yang berkomitmen dan siapa yang hanya bersandiwara.
Ketika publik memiliki kemampuan menilai dengan jernih, trust tumbuh secara alami. Sehingga trust yang lahir dari kesadaran jauh lebih kuat dibanding trust yang dibangun di atas retorika kosong.
Sayangnya, dalam praktiknya, banyak pemilih masih menempatkan politik sebagai ajang pragmatisme.
Mereka memilih bukan karena yakin terhadap visi, melainkan karena ada imbalan sesaat seperti uang, sembako, atau sekadar janji jabatan kecil.
Riset Rohi dkk. (2025) menunjukkan sebagian pemilih bahkan menunggu hingga detik terakhir sebelum menentukan pilihan, berharap ada “bantuan” finansial dari kandidat.
Temuan ini sejalan dengan analisis Leonardo Vicente dan Leonard Wantchekon (2020), politik uang menggeser preferensi rasional ke preferensi transaksional. Akibatnya, trust terhadap sistem pemilu melemah.
Pemilih tak lagi percaya politisi, politisi tak lagi percaya pemilih. Demokrasi menjadi transaksi, bukan kontrak kepercayaan. Keadaan ini juga berbahaya bagi kualitas kepemimpinan.
Seorang pemimpin yang lahir dari transaksi akan menjalankan kekuasaan sebagai investasi, bukan amanah.
Ia akan menghitung setiap kebijakan sebagai cara mengembalikan modal politik, bukan sebagai pengabdian kepada publik. Ketika trust hilang di awal, sulit berharap muncul trust di akhir.
Kampanye, Arus Informasi, dan Erosi Trust
Dalam teori komunikasi politik, kampanye adalah jantung pemilu. Everett M. Rogers dan J. D. Storey (1987) menyebut kampanye sebagai rangkaian aktivitas komunikasi terorganisir yang diarahkan untuk mendorong perubahan sosial dalam jangka waktu tertentu.
Idealnya, kampanye adalah arena pertarungan gagasan, tempat publik diberi kesempatan untuk menimbang dan membandingkan visi, program, serta rekam jejak para calon. Dalam kenyataan kita, harapan itu sering jauh dari kenyataan.
Dalam dua pemilu terakhir, kita menyaksikan kampanye yang lebih menyerupai pesta ketimbang ruang percakapan politik. Musik menggema, baliho membanjiri jalanan, namun gagasan tenggelam.
Media sosial mempercepat arus informasi, tetapi sekaligus memperdalam kabut. Hoaks, potongan video tanpa konteks, dan propaganda beredar jauh lebih cepat daripada klarifikasi dan diskusi.
Ketika informasi dikendalikan oleh emosi, bukan akal, trust tidak mungkin tumbuh.
Orang lebih percaya pada kabar yang menyenangkan perasaan ketimbang data yang menenangkan pikiran, mereka terjebak dalam bubble-nya.
Fenomena ini menciptakan spiral distrust. Pemilih merasa politisi hanya datang saat kampanye, maka mereka menuntut “imbalan” sebelum memberi suara.
Politisi merasa pemilih tidak setia, maka mereka memilih jalan pintas dengan membeli suara.
Dalam situasi ini, trust perlahan mati. Pemilu kehilangan makna sebagai momen kedaulatan rakyat dan berubah menjadi pasar besar.
Sumber masalahnya juga terletak pada lemahnya rekrutmen dan kaderisasi partai politik.
Banyak kandidat maju bukan karena kapabilitas, tetapi karena kedekatan dan modal. Partai yang seharusnya menjadi sekolah politik justru sering menjadi gerbang transaksional.
Ketika proses seleksi kandidat tidak meritokratis, publik sulit percaya. Ketika publik sulit percaya, trust semakin tipis.
Politisasi identitas memperparah keadaan. SARA dijadikan alat kampanye, bukan batas etika. Polarisasi meluas.
Masyarakat terbelah bukan oleh perbedaan gagasan, melainkan oleh label dan identitas yang dipertentangkan.
Alexis de Tocqueville, dalam Democracy in America (1835), mengingatkan bahwa demokrasi bertahan bukan karena semua orang sepakat, tetapi karena mereka percaya pada mekanisme untuk menyelesaikan perbedaan.
Ketika kepercayaan itu retak, polarisasi tak lagi bisa dikelola. Pemilu menjadi pemicu luka, bukan perayaan kebangsaan.
Situasi ini mengharuskan adanya counter-culture politik. Literasi digital dan politik menjadi benteng utama.
Pemilih, terutama kelompok muda, perlu diberi ruang belajar untuk memilah kabar, memahami program, dan mendiskusikan masa depan.
Media sosial seharusnya menjadi ruang deliberasi, bukan sekadar panggung amplifikasi kemarahan. Trust bisa tumbuh jika informasi jernih dan publik merasa dilibatkan secara bermakna.
Menata Ulang Ekosistem: Kelembagaan, Pendidikan Pemilih, dan Politik Gagasan
Mengembalikan trust dalam pemilu bukan tugas satu pihak, tetapi butuh kerja kolektif dari penyelenggara pemilu, peserta pemilu, dan masyarakat sebagai pemilih.
Penyelenggara memegang peran strategis. Peserta pemilu juga harus menata ulang panggung politik. Politik gagasan harus dikembalikan ke jantung kampanye.
Calon pemimpin seharusnya bicara tentang kebijakan publik, soal pendidikan, kesehatan, ekonomi, lingkungan, infrastruktur, keadilan sosial, dan masa depan digital.
Gagasan yang konkret dan terukur menunjukkan keseriusan. Gagasan yang konsisten melahirkan trust.
Figur yang menampilkan gagasan kuat akan bertahan lebih lama daripada mereka yang hanya bersandar pada pesona sesaat.
Masyarakat sebagai pemilih pun punya peran menentukan. Data KPU menunjukkan, pemilih muda, terutama generasi milenial dan Gen Z, mencapai 56 persen pada Pemilu Indonesia 2024.
Kelompok ini memiliki daya ubah besar. Mereka terbiasa dengan teknologi, terbuka terhadap diskusi, dan tidak terlalu terikat pada
patron lama.
Jika mereka diberi pendidikan pemilih yang sungguh-sungguh, trust bisa dibangun dari lapisan terbawah demokrasi.
Program “KPU Mengajar” yang digaungkan KPU Provinsi Nusa Tenggara Timur menjadi salah satu pintu masuk yang strategis.
Selama ini, sosialisasi pemilu lebih banyak berbicara soal tanggal pencoblosan dan hak-hak dasar.
Itu penting, tetapi belum cukup. Mengajar berarti melibatkan warga dalam percakapan politik yang lebih dalam, soal bagaimana janji politik bisa diterjemahkan menjadi kebijakan, soal bagaimana kebijakan berdampak pada kehidupan sehari-hari.
Program ini membutuhkan perencanaan matang mengenai kurikulum, kelompok sasaran, jam belajar, metode partisipatif, serta mekanisme evaluasi.
Indeks Partisipasi Pemilihan 2025 sekitar 61,94 persen di kabupaten/kota dan 60,97 persen di provinsi, memberi sinyal bahwa masih ada ruang luas untuk memperluas cakupan pendidikan pemilih.
Trust tidak hanya tumbuh dari pidato dan baliho. Trust tumbuh dari kedekatan sehari-hari. Dari politisi yang hadir di luar musim kampanye. Dari penyelenggara yang transparan dalam langkah-langkah kecil.
Dari warga yang mau belajar dan bertanya. Ketika tiga elemen ini saling bertemu, trust akan kembali mengisi ruang demokrasi.
Politik gagasan pun perlahan akan menggantikan politik identitas. Publik akan lebih menghargai visi masa depan ketimbang atribut.
Lebih tertarik pada rencana kebijakan ketimbang amplop. Lebih percaya pada konsistensi ketimbang pencitraan sesaat.
Dalam atmosfer seperti ini, figur yang benar-benar dipercaya akan terpilih bukan karena retorika, tetapi karena integritas. Pemilu, pada akhirnya, hanyalah alat.
Ruh dari alat itu adalah trust, kepercayaan yang mengikat rakyat dan pemimpin dalam satu simpul tanggung jawab.
Rakyat menitipkan masa depan melalui selembar suara, pemimpin menerima titipan itu dengan janji untuk menjaganya.
Bila trust dirawat, melalui proses yang jernih, kampanye yang mencerdaskan, dan warga yang kritis, pemilu tak lagi sekadar pesta lima tahunan tetapi menjelma peristiwa politik yang bermartabat.
Melalui bilik suara, tempat segala hiruk-pikuk kampanye berakhir, rakyat berdiri sebagai pemilik tunggal kedaulatan. Di titik itu, suara bukan sekadar pilihan, melainkan sebuah pesan.
Pesan bahwa trust tidak bisa diperjualbelikan. Pesan bahwa masa depan tidak boleh ditukar dengan uang receh. Pesan bahwa hanya mereka yang benar-benar dipercaya, yang pantas menerima amanah. (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.