Opini

Opini: Mengembalikan Trust dalam Pemilu

Ketika suara tidak lagi lahir dari nalar, melainkan dari pesona, harta, atau retorika, maka demokrasi tak lebih dari arena hiburan. 

Editor: Dion DB Putra
DOKUMENTASI PRIBADI BAHARUDIN HAMZAH
Baharudin Hamzah 

Riset Rohi dkk. (2025) menunjukkan sebagian pemilih bahkan menunggu hingga detik terakhir sebelum menentukan pilihan, berharap ada “bantuan” finansial dari kandidat. 

Temuan ini sejalan dengan analisis Leonardo Vicente dan Leonard Wantchekon (2020), politik uang menggeser preferensi rasional ke preferensi transaksional. Akibatnya, trust terhadap sistem pemilu melemah. 

Pemilih tak lagi percaya politisi, politisi tak lagi percaya pemilih. Demokrasi menjadi transaksi, bukan kontrak kepercayaan. Keadaan ini juga berbahaya bagi kualitas kepemimpinan.

Seorang pemimpin yang lahir dari transaksi akan menjalankan kekuasaan sebagai investasi, bukan amanah. 

Ia akan menghitung setiap kebijakan sebagai cara mengembalikan modal politik, bukan sebagai pengabdian kepada publik. Ketika trust hilang di awal, sulit berharap muncul trust di akhir.

Kampanye, Arus Informasi, dan Erosi Trust

Dalam teori komunikasi politik, kampanye adalah jantung pemilu. Everett M. Rogers dan J. D. Storey (1987) menyebut kampanye sebagai rangkaian aktivitas komunikasi terorganisir yang diarahkan untuk mendorong perubahan sosial dalam jangka waktu tertentu. 

Idealnya, kampanye adalah arena pertarungan gagasan, tempat publik diberi kesempatan untuk menimbang dan membandingkan visi, program, serta rekam jejak para calon. Dalam kenyataan kita, harapan itu sering jauh dari kenyataan. 

Dalam dua pemilu terakhir, kita menyaksikan kampanye yang lebih menyerupai pesta ketimbang ruang percakapan politik. Musik menggema, baliho membanjiri jalanan, namun gagasan tenggelam. 

Media sosial mempercepat arus informasi, tetapi sekaligus memperdalam kabut. Hoaks, potongan video tanpa konteks, dan propaganda beredar jauh lebih cepat daripada klarifikasi dan diskusi.

Ketika informasi dikendalikan oleh emosi, bukan akal, trust tidak mungkin tumbuh.

Orang lebih percaya pada kabar yang menyenangkan perasaan ketimbang data yang menenangkan pikiran, mereka terjebak dalam bubble-nya.

Fenomena ini menciptakan spiral distrust. Pemilih merasa politisi hanya datang saat kampanye, maka mereka menuntut “imbalan” sebelum memberi suara.

Politisi merasa pemilih tidak setia, maka mereka memilih jalan pintas dengan membeli suara. 

Dalam situasi ini, trust perlahan mati. Pemilu kehilangan makna sebagai momen kedaulatan rakyat dan berubah menjadi pasar besar. 

Halaman 3/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved