Opini
Opini: Menolak Normalisasi Eksploitasi Anak Dalam Kasus Mantan Kapolres Ngada
Tidak ada ruang bagi victim blaming, tidak ada toleransi untuk celah hukum yang melindungi pelaku, dan tidak ada kompromi atas hak anak.
Oleh: Petrus Meirio Mamoh, S.H.,M.H
Dosen Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana Kupang, Nusa Tenggara Timur
POS-KUPANG.COM - Hukum tidak berdiri sendiri, ia lahir dari dialektika norma, moral, dan realitas sosial.
Gustav Radbruch menegaskan bahwa hukum harus berlandaskan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian, sementara Hans Kelsen menekankan pemahaman hukum sebagai sistem normatif yang berlaku, bukan sekadar rasa subjektif.
Dalam konteks perlindungan anak, adagium the best interest of the child menegaskan bahwa anak bukan sekadar subjek hukum yang rentan, melainkan pusat orientasi hukum pidana modern.
Oleh karena itu, pandangan yang membenarkan praktik prostitusi anak dengan dalih “ anak melacurkan diri sendiri” perlu diluruskan secara normatif, yuridis, dan filosofis.
Baca juga: Sidang Kasus Pelecehan Seksual Eks Kapolres Ngada Fajar Lukman Memasuki Tahapan Pemeriksaan Saksi
Perkara mantan Kapolres Ngada, AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja di Pengadilan Negeri Kelas IA Kupang menimbulkan perdebatan serius mengenai hukum acara dan hukum pidana materil.
Perdebatan yang timbul di kalangan Praktisi dan Akademisi bahkan yang membela terdakwa menandakan dialektika sehat, tetapi tafsir hukum tidak boleh mengaburkan tujuan utama hukum pidana yaitu melindungi anak sebagai kelompok rentan.
Kasus ini, yang melibatkan aplikasi MiChat sebagai medium transaksi seksual anak, menegaskan bahwa hukum harus berpihak pada korban, bukan pelaku.
1. Perkara Eksploitasi Anak Bukan Delik Aduan
Persoalan pertama adalah keberlakuan hukum acara ketika laporan formal tidak ada.
Pasal 108 KUHAP menegaskan bahwa setiap orang yang mengetahui tindak pidana dapat melapor, dan aparat penegak hukum dapat bertindak ex officio.
Fakta adanya korban anak cukup untuk memicu kewajiban penyelidikan dan penuntutan, sesuai Pasal 59 ayat (1) UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan Konvensi Hak Anak (CRC 1989).
Dalam hukum pidana Indonesia, kelayakan perkara tidak bergantung pada pengaduan, melainkan pada otoritas penyidik dan penuntut umum (dominusus litis). Penahanan, sepanjang memenuhi Pasal 21 KUHAP, sah secara hukum.
Eksploitasi anak bukan isu privat, melainkan isu publik yang menyangkut harkat kemanusiaan, sebagaimana ditegaskan UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
Reduksi perkara menjadi sekadar ada atau tidaknya laporan adalah pengabaian prinsip perlindungan anak.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.