Opini
Opini: Menolak Normalisasi Eksploitasi Anak Dalam Kasus Mantan Kapolres Ngada
Tidak ada ruang bagi victim blaming, tidak ada toleransi untuk celah hukum yang melindungi pelaku, dan tidak ada kompromi atas hak anak.
Fenomena anak menawarkan jasa seksual melalui aplikasi daring tidak mengubah status hukum anak sebagai korban.
UU Perlindungan Anak menegaskan larangan segala bentuk eksploitasi anak (Pasal 76I dan 88), termasuk prostitusi, baik anak “memaksa” diri sendiri atau tidak.
Anak tidak memiliki kapasitas hukum untuk memberi persetujuan. Mahkamah Agung menegaskan bahwa anak dalam prostitusi adalah korban, sementara orang dewasa yang memanfaatkan merupakan pelaku.
Hukum internasional pun mendukung: CRC dan Protokol Opsional tentang Penjualan Anak serta Prostitusi Anak mengkualifikasi prostitusi anak sebagai eksploitasi, tanpa mempertimbangkan inisiatif anak.
Dalam kasus AKBP Fajar, anak berusia 16 dan 13 tahun dieksploitasi melalui aplikasi MiChat, menegasikan status korban sama dengan menormalisasi prostitusi anak.
Paradigma hukum pidana modern menegaskan bahwa pertanggungjawaban pidana ditujukan kepada pelaku dewasa, bukan anak.
5. Reformasi Hukum Jangan Jadi Alibi untuk Mengabaikan Perlindungan Anak
Kasus AKBP Fajar menunjukkan pentingnya memastikan perlindungan anak tetap prioritas. Reformasi hukum tidak boleh menunda atau melemahkan penegakan hukum terhadap kasus konkret.
Paradigma modern menempatkan korban sebagai pusat perhatian, maka mengabaikan mereka berarti menyimpang dari prinsip perlindungan anak (Pasal 59 UU No. 35 Tahun 2014).
Reformasi hukum memang penting, termasuk pengaturan prostitusi daring, tetapi tidak boleh mengaburkan penegakan hukum dalam kasus nyata.
Perlindungan anak harus menjadi fokus utama, memastikan keadilan substantif (fiat justitia ruat caelum) dan keamanan korban.
Kesimpulan
Dalam kerangka akademik, setiap pemikiran hukum harus menegakkan keadilan substantif.
Perlindungan anak harus menjadi prioritas utama dalam proses hukum dan landasan pengembangan hukum yang berkeadilan.
Tidak ada ruang bagi narasi atau praktik yang melegitimasi eksploitasi anak, baik langsung maupun tidak langsung.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.