Opini

Opini: Tragedi 28 Agustus dan Tanggung Jawab Pemimpin

Tidak ada rasa empati dalam diri para elit politik. Hal ini bisa dilihat dari abesnnya mereka untuk menemui para demonstran.

Editor: Dion DB Putra
DOKUMENTASI PRIBADI BALTHASAR ELU
Balthasar Elu 

Namun, budaya kempimpinan di Indonesia masih bersandar pada jalur kewenangan-struktural dalam mengambil keputusan. 

Kesadaran diri untuk menambil jalan mengundurkan diri secara sukarela sebagai bagian dari pertanggung-jawaban moral atas kesalahan yang merugikan kepentingan masyarakat belum bertumbuh di ranah kempimpinan publik Inndonesia. 

Ada dua (2) hal yang mendasari keyakinan moral yang salah, Pertama, berkaitan dengan konten moralitas atau hal-hal yang benar dan salah. 

Bahwa, pemimpin yang tumbuh di lingkungan yang tidak etis atau memiliki latar belakang yang kasar, pada umumnya karena sejak kecil mereka tidak diajarkan tentang hal-hal benar dan salah sejak mereka masih anak-anak.  

Kondisi ini sulit diubah ketika mereka sudah dewasa dan menjadi pemimpin akan banyak melakukan kesalahan moral. 

Kedua, berbagai kesalahan moral menyangkut ruang lingkup moralitas, atau siapa yang ada dan tidak terikat oleh persyaratan moral tertentu. 

Jika kita sering memberikan keistimewaan kepada pemimpin, mereka akan memposisikan atau mengganggap diri mereka istimewa dan tidak tunduk pada aturan-aturan dan norma-norma baku yang berlaku sama seperti orang lain taati (Ciulla, 2013).   

Tragedi 28 Agustus 2025 lalu, menuntut tanggung jawab moral dan ertis dari para pemimpin mulai dari pemerintah pusat, Polri, dan DPR. dan elit politik di DPR. 

Apakah ada dari pucuk pimpinan mereka yang berani mengudurkan diri sebagai bentuk tanggung jawab moral mereka terhadap dampak buruk dari amarah masyarakat pasca meninggalnya ojek daring Affan Kurniawan

Ataukah masih tetap bersandar pada wewenang-struktural yang lebih tinggi untuk mengambil keputusan pemberhentian? 

Jika kita bercermin dari negara-negara lain di dunia, seperti Jepang, Korea Selatan, Belanda, Selandia Baru, dan negara lain di Eropa, kemimpinan disana sudah membudayakan budaya mengundurkan diri jika ada masalah yang tidak bisa diatasi. 

Perilaku, tindakan, dan ucapan mereka tidak terlepas dari tanggung jawab moral. 

Terry L Price, dalam artikelnya “Penyalahgunaan, Hak Istimewa, dan Tanggung Jawab” menggali kesalahan moral yang dilakukan para pemimpin. 

Ia mendapatkan bahwa, para pemimpin kadang-kadang berpikir bahwa mereka bertindak secara etis, meskipun berlawanan dengan etika dan moral. 

Hal ini dikarenakan mereka salah arah tentang keyakinan moral mereka. Para pemimpin yang salah terhadap keyakinan moral, pada akhirnya akan memberikan dampak negatif dan merugikan banyak orang, bahkan menimbulkan kerugian ekonomi yang lebih besar di masyarakat. 

Hal ini kita bisa potret dari aksi lanjuntan pasca tragedi 28 Agustus 2025 lalu, aksi demonstrasi serentak di Indonesia, ada fasilitas publik dan infrastruktur lainnya yang ikut terdampak aksi demontrasi, seperti pembakaran gedung DPRD di Makassar, pembakaran jembatan penyebrangan orang (JPO), halte-halte busway di Jakarta, dan lain-lain. 

Akhirnya, kita menunggu niat baik seperti apa tindakan konkrit yang akan diambil oleh para pemimpin dan elit politik dari berbagai institusi yang beririsan langsung untuk meredam dinamika yang sedang terjadi saat ini sebagai bentuk tangggung jawab moral mereka. 

Begitu juga dari mereka yang selama ini sinis terhadap keluhan masyarakat, semoga mereka bisa tersadarkan kembali untuk benar-benar mendengarkan aspirasi masyarakat dengan mata-hati mereka. (*)

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News 

 

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved