Opini
Opini: Jalan Terjal Menuju Generasi Emas NTT
Praktik literasi akan terasa menyenangkan apa bila pendidik menanamkan dalam dirinya adagium dari filsuf Sokrates “saya tahu bahwa saya tidak tahu”.
Oleh: Dedi Harsali
Guru Mata Pelajaran Pendidikan Agama Katolik & Budi Pekerti SMAS Bintang Timur Ruteng, Flores, Nusa Tenggara Timur
POS-KUPANG.COM - Empat hari penulis mengikuti pelatihan dengan tema literasi dan numerasi di Aula SMKS Sadar Wisata Ruteng.
Kegiatan ini diinisiasi oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Nusa Tenggara Timur yang bekerja sama dengan Media Cakrawala NTT tepatnya pada tanggal 14 sampai 17 Oktober 2025.
Awalnya penulis terjebak dalam kepesimisan yang akut mengingat penulis sudah lama tidak menekuni dunia kepenulisan ditambah dengan literasi dan numerasi kian terkikis oleh arus kesibukan yang tidak pernah hentinya.
Baca juga: Opini: Sumpah Pemuda dalam Tsunami Literasi
Akan tetapi kepesimisan itu terpatahkan ketika berada dalam ruangan ide dan mencoba untuk ikut ambil bagian dalam bingkai jalan sunyi literasi.
Jujur jiwa yang pernah hilang dari dalam diri perlahan kembali setelah mendengarkan pesan yang merangsang cakrawala berpikir dari penulis yang bunyinya api literasi akan selalu menyala terang dalam kegelapan andai kata pendidik (guru) mulai membiasakan diri untuk berliterasi.
Pada hemat penulis kata-kata ini bukan hanya sebagai bentuk pesan moral tetapi alaram keras untuk pendidik itu sendiri dikarenakan pendidikan merupakan fondasi dasar dalam membentuk sumber daya manusia yang bermutu dan di sana ada peran sentral dari pendidik.
Kembali kepada tema kegiatan di atas lahirlah pertanyaan yang begitu kritis yaitu mengapa pendidik mengikuti pelatihan literasi dan numerasi? Dan mengapa kegiatan ini dipenuhi dengan belajar menulis?
Kedua pertanyaan ini seperti bahan refleksi untuk penulis agar bisa keluar dari pakem yang menghambat pendidik jadi mandek dalam berliterasi.
Sebelum kita melihat lebih jauh beberapa hambatan dari pendidik, penulis mengakui bahwa jalan terjal menuju generasi emas NTT mulai ditinggalkan apabila pendidik (kita) menginginkan sebuah perubahan postif dari dalam diri dengan bekaca dari beberapa persoalan mendasar.
Bukan tidak mungkin kita memilih jalan lurus yang mudah dilalui walaupun mata tertutup. Apakah pendidik bisa? Optimis harus bisa.
Hambatan dari Pendidik
Pada tataran ini penulis melihat lingkaran setan berupa faktor yang menyebabkan pendidikan kita stagnan sejauh ini.
Pertama, datang dari pendidik sendiri yaitu kuranganya budaya literasi dari pendidik. Hal ini disebabkan oleh adanya anggapan bahwa literasi hanya dikhususkan untuk peserta didik yang masih dalam proses belajar.
Sedangkan pendidik hanya sebagai fasilitator yang bertugas mengarahkan peserta didik ketika berliterasi.
Keadaan ini cukup menyedihkan ketika banyak ditemukan pendidik membuat gebrakan baru, berani membuat slogan bertema literasi di sekolah-sekolah atau pohon literasi dan mempostingnya di media social.
| Opini: Kearifan Lokal Menuju Demokrasi Berkeadaban |
|
|---|
| Opini: Menjaga Demokrasi Kampus dari Politik Zero-Sum Game |
|
|---|
| Opini: Saat Komunikasi Publik Menjadi Kunci Layanan Kesehatan Daerah |
|
|---|
| Opini: Suara Moral Indonesia di Tengah Standar Ganda IOC |
|
|---|
| Opini: Neka Hemong Kuni agu Kalo- Salinan Kerinduan dalam Mimbar Filosofis |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/kupang/foto/bank/originals/Dedi-Harsali.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.