Opini

Opini: Dari Cogito Ergo Sum ke Aku Klik Maka Aku Ada

Dalam konteks AI yang canggih ini, AI, yang diprioritaskan manusia, mulai mengesampingkan peran akal murni manusia dalam konstruksi pengetahuan. 

Editor: Dion DB Putra
DOKUMENTASI PRIBADI DARVIS TARUNG
Darvis Tarung 

Oleh: Darvis Tarung
Mahasiswa Fakultas Filsafat Unwira Kupang, Nusa Tenggara Timur

POS-KUPANG.COM - Rene Descartes, yang dikenal sebagai figur utama dalam pengembangan filsafat modern, mendirikan kedaulatan rasio manusia melalui pernyataan monumental Cogito Ergo Sum, yang berarti Aku berpikir, maka Aku Ada. 

Aforisme ini menjadi fondasi penting untuk kepastian pengetahuan, menempatkan akal (ratio) sebagai instrumen utama dalam mencapai kebenaran mutlak, dan memberikan dampak signifikan dalam membentuk paradigma pengetahuan manusia. 

Pencarian Descartes terhadap kepastian didorong oleh ketidakpuasan terhadap ilmu pengetahuan yang ia terima sebelumnya, yang membawanya pada keraguan metodis. 

Baca juga: Opini: Satu Data untuk Kemajuan Nusa Tenggara Timur

Melalui keraguan radikal, ia bertujuan membersihkan pikiran dari prasangka, nilai-nilai, dan pengetahuan inderawi untuk menemukan kebenaran yang tidak dapat diragukan lagi. 

Eksistensi subjek terbukti (ada) ketika subjek berada dalam situasi kesadaran penuh perhatian (mindful awareness), karena pengetahuan pada dasarnya adalah perhatian penuh sadar. 

Filsafat Descartes, atau filsafat kesadaran (cogito), menegaskan bahwa kepastian berawal dari diri Aku sebagai subjek sadar yang berpikir (res cogitans), yang merupakan asal usul pengetahuan manusia yang sesungguhnya.

Namun, fondasi kepastian yang didirikan di atas kedaulatan akal ini kini menghadapi pergeseran radikal seiring munculnya revolusi digital dan Kecerdasan Buatan (AI). 

Jika Descartes menemukan bahwa panca indera dapat menipu, keraguan metodis saat ini pantas dikenakan pada realita kehidupan modern yang didominasi oleh inovasi teknologi. 

Di tengah pergulatan kontemporer, kesadaran tentang Aku bergeser, di mana eksistensi manusia diwujudkan sejauh ia terakses di atas layar spektral. 

Pergeseran ini melahirkan konsep subjektivisme digital atau Homo Digitalis, di mana berpikir tidak lagi menjadi hal yang terpenting; yang terpenting adalah tindakan mengklik, sehingga muncul ungkapan, "Aku klik, maka Aku ada" yang diperkenalkan oleh Budi Hardiman.

Ketergantungan pada sistem jaringan dan layar spektral ini menciptakan dualism baru: antara pikiran dan aplikasi virtual, seperti Zoom dalam konteks pembelajaran daring, di mana jaringan menjadi sumber utama kelangsungan hidup. 

Fenomena ini disebut sebagai Cogito Ergo Sum  yang mencerminkan ketergantungan pola kesadaran berpikir manusia pada sistem jaringan dan layar spektral semata. 

Realita kehadiran metode pembelajaran maya, meskipun praktis, menciptakan paradoks: menghasilkan ruang interaktif namun di sisi lain menimbulkan kejenuhan dan sikap apatis, yang mengganggu kemampuan manusia untuk mencapai kepastian pengetahuan yang benar dengan perhatian penuh. 

Kejenuhan ini menyebabkan penurunan konsentrasi dan daya serap materi, yang secara langsung mengaburkan kesadaran penuh perhatian yang ditegaskan oleh Descartes sebagai kunci pengetahuan yang pasti.

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved