Sumba Timur Terkini

Kasus Malaria di Sumba Timur Turun Drastis, Juli 2025 Hanya 253 Kasus

Naomi mengatakan, penurunan terjadi setelah kasus melonjak tajam pada 2022 akibat pembatasan ruang gerak pemeriksaan dan penanganan Covid-19.

Editor: Eflin Rote
POS-KUPANG.COM/IRFAN BUDIMAN
Pengelola Program Malaria di Dinas Kesehatan Sumba Timur, Naomi Tamo Ina saat ditemui di ruang kerjanya pada Jumat (22/8/2025). 

Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Irfan Budiman

POS-KUPANG.COM, WAINGAPU - Kasus malaria di Kabupaten Sumba Timur, NTT dilaporkan menurun secara signifikan.

Per Juli 2025, jumlah kasus malaria tercatat hanya 253 kasus. Meski begitu, upaya menuju target bebas malaria terus dilakukan pemerintah daerah.

Hal tersebut disampaikan oleh Pengelola Program Malaria di Dinas Kesehatan Sumba Timur, Naomi Tamo Ina kepada Pos Kupang, Jumat (22/8/2025).

Naomi mengatakan, penurunan terjadi setelah kasus melonjak tajam pada 2022 akibat pembatasan ruang gerak pemeriksaan dan penanganan Covid-19.

Ia menyebutkan, pada tahun 2021 ada 1.758 kasus. Tahun 2022 meningkat 5.540 kasus. Tahun 2023 turun jadi 2.178 kasus. Pada tahun 2024 sebanyak 1.151 kasus, dan hingga Juli 2025 tersisa 253 kasus.

“Hingga bulan Juli 2025, ada 253 kasus malaria,” kata Naomi saat ditemui di ruang kerjanya.

Saat ini, kasus malaria tersebar di sejumlah puskesmas dan rumah sakit di Sumba Timur.

Di antaranya di Puskesmas Mahu 32 kasus, Puskesmas Melolo 24 kasus, Puskesmas Kataka 22 kasus, Puskesmas Kananggar 20 kasus, Puskesmas Tanaraing 18 kasus, dan Puskesmas Nggongi 14 kasus.

Sedangkan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Umbu Rara Meha Waingapu ada 28 kasus, dan di RSK Lindimara ada 11 kasus.

Baca juga: Penuhi Kebutuhan BBM di Sumba Timur, Pertamina Patra Niaga Kirim Dua Kapal

Berdasarkan kelompok umur, penderita bayi 0-11 bulan sebanyak 2 orang, anak 1-4 tahun 29 orang, usia 5-9 tahun 52 orang, usia 10-14 tahun 51 orang, dan usia 15 tahun ke atas sebanyak 119 orang.

Sementara itu, dari segi jenis kelamin tercatat 145 laki-laki dan 108 perempuan.

Naomi menjelaskan, pihaknya terus berupaya untuk menekan angka kasus malaria hingga dinyatakan bebas. Namun, sejumlah kebiasaan masyarakat dan budaya juga turut menjadi faktor penyebab.

“Adat perkawinan kan biasa bermalam-malam persiapannya. Laki-laki bekerja menyiapkan tenda, duduk bermain kartu hingga larut malam. Dalam adat kematian juga, malam sebelum penguburan banyak suku berkumpul tanpa kelambu sehingga berpotensi terjadi penularan,” katanya.

Selain itu, anak-anak yang mencari sinyal internet dan bermain game hingga ke bukit juga berisiko tinggi terkena gigitan nyamuk.

Halaman
12
Sumber: Pos Kupang
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved