Opini
Opini: Mencari Hati yang Enggan Membenci di Balik Puing-puing Gereja Keluarga Kudus Gaza
Pastor paroki, Gabriel Romanelli, salah satu dari ketiga korban yang tewas, dikenal dekat dengan mendiang Paus Fransiskus.
At last but not list, (keempat), moderasi beragama adalah penjaga nurani.
Ketika tempat ibadah diserang, itu bukan hanya soal pelanggaran hukum, tapi juga soal hilangnya nurani kolektif.
Moderasi beragama mengajak kita untuk menjaga nurani itu dengan empati, refleksi, dan keberanian untuk bersuara.
Apa itu Moderasi Beragama?
Moderasi beragama (religious moderation) adalah sebuah konsep, sikap, dan cara beragama yang menekankan keseimbangan dan keadilan, memahami dan menjalankan ajaran agama secara moderat, agar terhindar dari sikap ekstrem kiri maupun kanan.
Pribadi yang moderat selalu menghargai ajaran agama sendiri, sekaligus menghormati agama lain dengan prinsip keadilan, keseimbangan, cinta tanah air, akhlak inklusif, dan keterbukaan terhadap keragaman.
Konsep ini menjadi landasan yang kuat untuk memelihara harmoni di tengah masyarakat yang multikultural.
Moderasi beragama tidak membenarkan anggapan bahwa “semua agama sama”.
Akan tetapi, moderasi beragama menjunjung tinggi kemanusiaan dengan dalil, semua manusia berhak dihormati dalam keyakinannya, sebuah pengakuan dan penghormatan yang jujur terhadap martabat manusia.
Dalam studi perbandingan agama, diperoleh titik temu. Misalnya dalam Islam, konsep wasathiyah (jalan tengah) menekankan keseimbangan antara keyakinan dan kemanusiaan, sementara dalam Kristen, kasih kepada sesama adalah hukum yang melampaui sekat-sekat identitas.
Literasi moderasi beragama mengajarkan bahwa berbeda bukan berarti bermusuhan, keyakinan tidak perlu dibuktikan dengan kekerasan, dan bahwa ibadah orang lain bukan ancaman, melainkan pengingat bahwa kita tidak sendirian.
Mengutip A.M. Romly (2025), “ Manusia tidak berada di ruang hampa. Sejak lahir ke dunia manusia hidup di suatu ruang yang dihuni pelbagai makhluk Tuhan. Manusia hidup berdampingan dengan alam dan sesamanya.”
Jadi dalam konteks tragedi GKK di Gaza, moderasi beragama jangan direduksir sebagai sekadar toleransi.
Moderasi beragama merupakan keberanian untuk berdiri di tengah, ketika dua kutub saling membakar.
Ia adalah suara yang berkata: “Tidak atas nama Tuhan.” Ia adalah tangan yang merangkul, bukan menunjuk.
Ali bin Abi Thalib pernah mengatakan, kalau seseorang itu bukan sesamamu seiman, maka pandanglah dia sebagai saudaramu sekemanusiaan.
Mari Bangkit Bersama
Untuk menemukan hati yang enggan membenci di balik puing-puing GKK di Gaza, kita hari ini jangan hanya bisa mengecam, dan apalagi mengutuk.
Demi nilai-nilai universal: keadilan, kasih sayang, hak asasi manusia, dan martabat hidup, mari kita harus dan terus bergerak untuk:
(1) Melindungi tempat ibadah sebagai zona damai (dar al-salam), (2) mendorong dialog lintas iman dan budaya, dan (3) mengedukasi publik bahwa perang bukan solusi, dan bahwa agama bukan alasan untuk membunuh.
Sebab, apabila gereja bisa dihancurkan, maka masjid pun bisa. Jika salib bisa dibungkam, maka bulan sabit pun bisa dipatahkan. Dan jika kita diam, maka kita ikut membenarkan.
Tragedi GKK di Gaza mengajarkan kita satu hal yakni bahwa tempat paling suci bukanlah bangunan, tapi hati yang enggan membenci. (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News
Hendrikus Maku
Gereja Keluarga Kudus Gaza
konflik Gaza
Opini Pos Kupang
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Israel
Palestina
Paus Fransiskus
Sri Paus Leo XIV
Opini: Prada Lucky dan Tentang Degenerasi Moral Kolektif |
![]() |
---|
Opini: Drama BBM Sabu Raijua, Antrean Panjang Solusi Pendek |
![]() |
---|
Opini: Kala Hoaks Menodai Taman Eden, Antara Bahasa dan Pikiran |
![]() |
---|
Opini: Korupsi K3, Nyawa Pekerja Jadi Taruhan |
![]() |
---|
Opini: FAFO Parenting, Apakah Anak Dibiarkan Merasakan Akibatnya Sendiri? |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.