Breaking News

Opini

Opini: Isu LGBT Prada Lucky, Senjata Tumpul di Hadapan Keadilan

Narasi ini menempelkan label LGBT pada Prada Lucky, menjadikannya kambing hitam yang seolah layak menerima perlakuan kejam tersebut. 

Editor: Dion DB Putra
DOKUMENTASI PRIBADI VITALIS WOLO
Vitalis Wolo 

Oleh: Vitalis Wolo
Warga Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur

POS-KUPANG.COM - Tragedi yang menimpa Prada Lucky Chepril Saputra Namo, prajurit muda Batalyon Teritorial Pembangunan 834/Waka Nga Mere di Nagekeo, Nusa Tenggara Timur, merupakan kisah duka yang menyingkap dua kematian sekaligus — satu secara fisik dan satu lagi secara moral. 

Pada 6 Agustus 2025, Prada Lucky meninggal dunia setelah mengalami penganiayaan brutal oleh senior dan rekannya sesama prajurit. 

Luka-luka yang dideritanya antara lain memar, luka sayatan, cambukan selang, serta penganiayaan lainnya yang memaksanya dirawat intensif selama empat hari di Rumah Sakit Umum Daerah Aeramo sebelum akhirnya meninggal.

Baca juga: Empat Terdakwa Kasus Prada Lucky Namo Didakwa Pasal Penganiayaan, Terancam 9 Tahun Penjara

Namun setelah jasadnya dimakamkan, kekerasan sosial yang lebih mematikan menyusul: pembunuhan karakter. 

Narasi ini menempelkan label LGBT pada Prada Lucky, menjadikannya kambing hitam yang seolah layak menerima perlakuan kejam tersebut. 

Tetapi dalam sidang Pengadilan Militer III-15 Kupang pada 28 Oktober 2025, Oditur Militer menolak tuduhan itu dengan tegas. 

Tidak ada bukti, kesaksian, maupun hasil pemeriksaan yang mendukung tuduhan penyimpangan seksual terhadap korban. 

Fitnah ini hanyalah alat untuk menutupi kekejaman penganiayaan yang disengaja oleh pelaku. 

Filsuf Hannah Arendt mengingatkan bahwa kekerasan fisik berakhir dengan kematian, namun kekerasan simbolik — seperti pembunuhan karakter — dapat menghantui korban bahkan setelah tiada. 

Prada Lucky mengalami hal ini: setelah kehilangan nyawa, ia kehilangan pula nama baik dan kehormatan di mata publik. 

Label LGBT yang dilekatkan tanpa bukti membuatnya tak lagi dipandang sebagai manusia yang berhak mendapat keadilan, melainkan simbol penyimpangan yang pantas diasingkan.

Dalam hukum, pencemaran nama baik diatur dalam Pasal 310 dan 311 KUHP, yang melarang penyebaran informasi palsu yang merugikan nama baik seseorang — apalagi bila korban tak lagi bisa membela diri. 

Namun dalam praktik di Indonesia, pembunuhan karakter sering dianggap ringan, padahal dampaknya menghancurkan martabat manusia. 

Dalam konteks militer, reputasi adalah segalanya. Tuduhan moral tanpa dasar dapat menghancurkan integritas seorang prajurit dan merusak kepercayaan publik terhadap institusi TNI.

Halaman 1/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved