Opini

Opini: Mencari Hati yang Enggan Membenci di Balik Puing-puing Gereja Keluarga Kudus Gaza

Pastor paroki, Gabriel Romanelli, salah satu dari ketiga korban yang tewas, dikenal dekat dengan mendiang Paus Fransiskus. 

|
Editor: Dion DB Putra
POS-KUPANG.COM/HO-DOK HENDRIK MAKU
Hendrikus Maku, SVD 

Kelima, kehilangan rasa bersalah. Orang yang kehilangan nurani tidak merasa bersalah atas tindakan yang menyakiti orang lain. 

Mereka bahkan bisa merasa bangga atau puas atas penderitaan yang ditimbulkan. Dan keenam, tidak menghargai nilai-nilai universal.  

Pribadi yang kehilangan nuraninya selalu kontra keadilan, kasih sayang, hak asasi manusia, dan martabat hidup. Mereka bisa menyerang tempat ibadah, rumah sakit, atau sekolah tanpa rasa bersalah. 

Serangan yang menyasar GKK di Gaza mungkin tidak punya korelasi langsung dengan perbincangan terkait moderasi beragama. 

Namun demikian, sebagai bagian integral dari literasi keagamaan, maka tidaklah berlebihan kalau poin itu disenggol dalam permenungan “mencari hati yang enggan membenci”. 

Beberapa korelasi dari serangan terhadap GKK dengan gagasan moderasi beragama adalah sebagai berikut. 

Pertama, moderasi beragama menjunjung tempat ibadah sebagai zona damai (dar al-salam). 

Moderasi beragama mengajarkan bahwa tempat ibadah, baik gereja, masjid, sinagoga, atau apa pun namanya adalah ruang suci yang harus dilindungi dari kekerasan. 

Serangan terhadap GKK di Gaza menunjukkan pelanggaran terhadap prinsip ini, dan menjadi contoh ekstrem dari radikalisasi kekuasaan yang mengabaikan nilai spiritual. 

Kedua, moderasi menolak kekerasan atas nama agama atau politik. Serangan tersebut bukan hanya menyasar bangunan, tapi juga nilai-nilai kemanusiaan dan spiritual. 

Moderasi beragama menolak segala bentuk kekerasan, apalagi yang dilakukan terhadap kelompok minoritas. 

GKK di Gaza merupakan simbol solidaritas lintas iman, tempat Muslim dan Kristen berlindung bersama. 

Ketiga, serangan yang menyasar GKK di Gaza mesti menjadi alarm global  untuk menghidupkan kembali “bara api” moderasi. 

Insiden di Gaza bisa menjadi momentum bagi komunitas internasional dan lintas agama untuk: 

(1) Mengafirmasi pentingnya perlindungan terhadap minoritas dengan dalil aqli: “mayoritas mesti melindungi minoritas”, (2) mendorong dialog antaragama sebagai jalan damai, dan (3) mengedukasi publik bahwa agama bukan alat kekuasaan, melainkan jalan kasih dan keadilan. 

Halaman
1234
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved