Opini
Opini: Janji Manis yang Beracun, Tragedi Makan Gratis di SMPN 8 Kota Kupang
Namun, realitas di lapangan, khususnya di Kupang hari ini, adalah mimpi buruk yang jauh dari fantasi tersebut.
Kasus di Kupang ini bisa jadi hanya puncak gunung es dari praktik-praktik tak bertanggung jawab yang merugikan negara dan membahayakan rakyat.
Kini, setelah puluhan anak tumbang dan memenuhi ruang UGD, barulah pihak kepolisian dan Dinas Kesehatan sibuk melakukan penyelidikan, mengambil sampel untuk BPOM, dan para pejabat pun buru-buru meninjau rumah sakit dengan raut muka prihatin.
Pertanyaannya, mengapa pengawasan itu baru super ketat setelah musibah terjadi? Bukankah seharusnya pencegahan selalu menjadi prioritas utama, dengan sistem kontrol kualitas berlapis dan pengawasan proaktif yang tak kenal kompromi, bukan reaktif seperti pemadam kebakaran?
Kinerja pengawas program ini harus dipertanyakan secara serius. Siapa yang bertanggung jawab atas kegagalan sistemik ini?
Akuntabilitas tidak boleh berhenti pada level pelaksana lapangan; ia harus diusut tuntas hingga ke pembuat kebijakan dan penanggung jawab tertinggi. Ini adalah potret kegagalan negara dalam melindungi warganya.
Di luar masalah kualitas dan akuntabilitas, program makan gratis skala besar ini juga membawa dampak sosial-ekonomi yang patut dikritisi tajam. Pertama, ia berpotensi menciptakan ketergantungan baru di masyarakat.
Ketika individu dan keluarga terbiasa mendapatkan makanan gratis, motivasi untuk mencari nafkah, meningkatkan pendapatan, atau bahkan mempelajari keterampilan dasar seperti memasak dan mengelola nutrisi secara mandiri bisa menurun drastis.
Ini bukan solusi jangka panjang yang memberdayakan masyarakat agar bisa berdiri di atas kakinya sendiri, melainkan justru melemahkan kemandirian ekonomi dan literasi gizi mereka, mengubah mereka dari subjek berdaya menjadi objek penerima.
Kedua, program ini bisa memberikan dampak negatif yang signifikan terhadap ekonomi lokal, terutama pada pedagang kecil dan warung makan yang selama ini menjadi tulang punggung perekonomian rakyat di daerah seperti Kupang.
Jika masyarakat, terutama anak sekolah dan keluarga miskin, mendapatkan makanan gratis setiap hari, maka permintaan terhadap produk makanan dari Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) lokal akan menurun drastis.
Hal ini bisa mematikan usaha-usaha kecil yang bergantung pada penjualan makanan sehari-hari, menyebabkan hilangnya mata pencarian bagi ribuan keluarga dan melemahkan roda ekonomi di tingkat akar rumput.
Bukankah ironis jika program yang katanya untuk kesejahteraan rakyat justru mematikan penghidupan rakyat kecil yang sudah susah payah berjuang?
Dari sisi lingkungan, pengadaan, pengemasan, dan distribusi makanan dalam jumlah sangat besar ini berpotensi menghasilkan limbah yang masif.
Penggunaan kemasan sekali pakai yang tak terurai, sisa makanan yang terbuang karena tidak habis atau basi, hingga jejak karbon dari transportasi bahan baku dan makanan jadi, semuanya berkontribusi pada masalah lingkungan yang serius jika tidak dikelola dengan sistem daur ulang dan pengelolaan limbah yang komprehensif.
Aspek keberlanjutan seringkali terabaikan di balik hiruk pikuk target dan janji politik.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.