Opini

Opini: Janji Manis yang Beracun, Tragedi Makan Gratis di SMPN 8 Kota Kupang

Namun, realitas di lapangan, khususnya di Kupang hari ini, adalah mimpi buruk yang jauh dari fantasi tersebut. 

Editor: Dion DB Putra
POS-KUPANG.COM/HO-DOK PRIBADI
Abner Paulus Raya Sanga 

Oleh: Abner Paulus Raya Sanga
Warga Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur

POS-KUPANG.COM - Program makan bergizi gratis—sebuah gagasan yang selalu tampak begitu mulia di atas kertas dan menjadi jualan politik yang empuk—  hari Selasa, 22 Juli 2025, kembali menorehkan noda hitam, bukan hanya di catatan anggaran, tapi langsung di perut dan kesehatan anak-anak kita. 

Ini bukan lagi sekadar wacana atau debat angka, melainkan realitas pahit yang membuat puluhan, bahkan mencapai 140 siswa SMP Negeri 8 Kota Kupang dilarikan ke rumah sakit. 

Ya, program yang konon tujuannya menyehatkan generasi penerus itu justru berbuah nyeri perut, mual, muntah, pusing, dan diare hebat—gejala klasik dari sebuah keracunan massal yang tak terhindarkan akibat kegagalan sistemik yang mencolok.

Mungkin para perumus kebijakan dan penggagas program ini membayangkan potret sempurna: senyum ceria anak-anak yang lahap menyantap hidangan penuh nutrisi, wajah-wajah berseri yang seolah menjanjikan masa depan cerah. 

Namun, realitas di lapangan, khususnya di Kupang hari ini, adalah mimpi buruk yang jauh dari fantasi tersebut. 

Anak-anak yang seharusnya belajar dan bermain, mesti mengerang kesakitan di Unit Gawat Darurat RS S.K. Lerik, RS Mamami, dan RS Umum Siloam. Sungguh sebuah ironi yang memilukan.

Bagaimana mungkin makanan yang menunjukkan tanda-tanda mencurigakan  tetap sampai ke tangan siswa? Ini bukan sekadar kelalaian, ini adalah bukti nyata dari abainya pengawasan dan minimnya rasa tanggung jawab. 

Label "bergizi" itu seolah hanyalah tempelan manis yang menipu, menutupi kualitas makanan yang sepertinya diperlakukan seperti barang buangan. 

Logistik besar-besaran yang digembar-gemborkan efisien ini rupanya gagal total dalam menjaga kebersihan, kesegaran, dan yang paling fundamental, keamanan pangan. 

Atau jangan-jangan, memang ada standar ganda: satu untuk presentasi di depan publik, dan satu lagi untuk makanan yang disajikan kepada rakyat jelata, yang penting murah dan cepat, tanpa peduli konsekuensi fatalnya? 

Ketika target kuantitas dikejar membabi buta, kualitas dan keamanan selalu menjadi korban pertama. Ini bukan hanya tentang penyediaan makanan; ini adalah soal mempertaruhkan nyawa dan masa depan anak-anak kita.

Tragedi ini bukan sekadar insiden perut melilit, melainkan tamparan keras pada wajah transparansi dan akuntabilitas yang seringkali hanya menjadi jargon politik. Di mana sistem pengawasan ketat yang selalu dijanjikan akan menjamin kualitas dan distribusi yang merata? 

Apakah proses pengadaan bahan baku dan pengolahan makanan ini benar-benar sesuai standar ketat yang seharusnya, atau jangan-jangan ada tangan-tangan tak terlihat yang mencari untung di balik proyek "mulia" ini? 

Skala program yang raksasa ini jelas membuka celah korupsi yang menganga lebar: dari mark-up harga bahan baku, pengurangan porsi atau kualitas demi keuntungan, hingga pengabaian prosedur higienis demi efisiensi semu. 

Halaman
123
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved