Opini
Opini: Teater Budaya NTT Bukan Sekadar Tontonan Tapi Senjata Kritik Sosial yang "Nyeleneh"
Akar teater jauh lebih tua dari yang kita bayangkan, berawal dari ritual-ritual keagamaan primitif yang dilakukan di gua-gua atau sekitar api unggun.
Teater punya kekuatan untuk menyuarakan keresahan rakyat, kegelisahan para petani, atau harapan para nelayan, dengan cara yang kadang lebih mengena daripada demonstrasi di jalan atau keluhan di media sosial.
Kenapa teater punya kekuatan ini? Karena ia membungkus kritik dalam estetika, emosi, dan cerita yang bisa membuat penonton berpikir sambil tertawa, terenyuh, atau bahkan marah.
Ia menawarkan perspektif yang berbeda, memaksa audiens untuk melihat masalah dari sudut pandang yang mungkin belum pernah mereka bayangkan.
Teater bisa jadi alat untuk menanyakan, "Sudah benarkah pembangunan jalan itu, Pak Gubernur, yang konon mangkrak di tengah hutan belantara?
Bagaimana dengan proyek geotermal yang katanya demi listrik tapi justru mengancam kearifan lokal?
Pak Wali Kota, bagaimana soal kebersihan kota Kupang yang masih sering jadi sorotan?"
Tentu saja, kritik ini disampaikan dengan gaya teater yang elegan, penuh metafora, dan kadang dibumbui humor pahit, bukan orasi di mimbar bebas.
Ini membutuhkan keberanian luar biasa dari para seniman untuk bersuara, dan juga kesediaan pemerintah untuk mendengarkan "suara" dari panggung —bahkan jika suara itu terdengar sumbang di telinga mereka.
Ini adalah ujian bagi kebebasan berekspresi dan kematangan berdemokrasi.
Apakah tulisan Bapak Pieter Kembo cukup kuat untuk mendorong kita semua, dari seniman hingga pembuat kebijakan, menyoroti potensi teater sebagai pengawas yang artistik ini?
Sentilan dari Bapak Pieter Kembo memang penting. Ia mengingatkan kita bahwa di tengah pesatnya pembangunan fisik Kupang, jiwa dan identitas kota ini juga harus dipupuk melalui seni.
Namun, sentilan itu perlu dibarengi dengan analisis yang lebih tajam mengenai "jalan tempuh" dan "bahan bakar" yang dibutuhkan untuk mewujudkan mimpi besar ini.
Sebab, membangun iklim teater yang hidup dan berdaya kritik itu tidak semudah membalik telapak tangan.
Kita perlu memikirkan: Pembibitan Seniman; Bagaimana cara mencetak aktor-aktor lokal, sutradara, penulis naskah, dan kru yang mumpuni? Apakah ada sekolah seni atau sanggar yang serius dan berkelanjutan?
Pendanaan yang Konsisten; Dari mana dana operasional yang stabil? Apakah kita masih harus bergantung pada "proposal nasib" yang tak pasti setiap kali ada ide pementasan?
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.