Opini
Opini: Teater Budaya NTT Bukan Sekadar Tontonan Tapi Senjata Kritik Sosial yang "Nyeleneh"
Akar teater jauh lebih tua dari yang kita bayangkan, berawal dari ritual-ritual keagamaan primitif yang dilakukan di gua-gua atau sekitar api unggun.
Di berbagai peradaban kuno, manusia menggunakan gerak, suara, dan cerita untuk berkomunikasi dengan dewa, merayakan panen yang melimpah, mengusir roh jahat, atau mengenang nenek moyang mereka.
Ritual-ritual ini, dengan elemen dramatisnya —ada konflik, resolusi, dan performa—adalah benih pertama teater. Mereka bukan sekadar "tontonan" tapi bagian integral dari kehidupan sosial dan spiritual.
Kemudian, di Yunani Kuno, sekitar abad ke-6 SM, teater mulai bertransformasi menjadi bentuk yang lebih terstruktur dengan drama tragedi dan komedi yang kita kenal sekarang.
Pementasan di amfiteater megah itu bukan hanya ritual, tapi juga forum publik untuk diskusi filosofis, politik, dan kritik sosial yang tajam.
Para dramawan seperti Aristophanes, misalnya, terkenal karena komedi satir mereka yang terang-terangan mengkritik politikus korup, kebijakan perang yang bodoh, atau kondisi sosial Athena kala itu.
Jadi, sejak awal kemunculannya, teater sudah punya DNA sebagai alat kontrol sosial, bukan sekadar hiburan kosong pengisi waktu luang.
Ia adalah suara rakyat yang dibungkus dalam narasi dan akting, disampaikan di ruang publik.
Seiring berjalannya waktu, teater berkembang dalam berbagai bentuk di seluruh dunia, dari Wayang Kulit yang sarat filosofi di Jawa, Kabuki yang flamboyan di Jepang, hingga Commedia dell'arte yang penuh improvisasi di Italia.
Bahkan di era modern, teater sering menjadi garis depan pergerakan sosial dan politik, menyuarakan keadilan, menantang tirani, dan mendorong perubahan.
Namun, benang merahnya tetap sama: teater adalah cermin hidup masyarakatnya, selalu punya potensi untuk berbicara, bertanya, bahkan menuduh, dengan cara yang kadang lebih kuat dan menghujam daripada pidato-pidato formal, artikel berita, atau bahkan unjuk rasa.
Ia punya kemampuan untuk menembus hati dan pikiran, memicu empati dan pemikiran kritis.Dan di sinilah kita kembali ke poin krusial untuk Kupang dan seluruh NTT.
Teater, khususnya yang berbasis budaya, tidak boleh hanya menjadi etalase cantik yang menampilkan kebudayaan untuk wisatawan atau laporan dinas pariwisata yang tersimpan rapi di laci.
Ia harus lebih dari itu! Jika teater hanya berhenti di fungsi "pelestarian budaya" secara superfisial, ia akan kehilangan daya gigitnya, menjadi sekadar fosil indah yang dipamerkan, bukannya organisme hidup yang bernapas dan bereaksi terhadap lingkungan.
Teater harus menjadi ruang kritik sosial yang berani dan cerdas. Ia harus berfungsi sebagai alat kontrol terhadap kebijakan pemerintah, bahkan menjadi semacam auditor publik yang "nyeleneh" tapi jujur.
Bayangkan sebuah pementasan yang satir menyentil kebijakan pembangunan yang kurang merata di pelosok NTT, atau drama komedi gelap tentang birokrasi yang berbelit-belit, lamban, dan mungkin sedikit "nakal" di kantor-kantor pemerintahan.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.