Opini

Opini: Kekerasan dalam Rumah Tangga, Luka Struktural di Balik Dinding Privasi

Fenomena kekerasan dalam rumah tangga di Indonesia telah berulang kali dikonfirmasi dalam data empiris lembaga-lembaga resmi. 

|
Editor: Dion DB Putra
POS-KUPANG.COM/HO-FOTO BUATAN AI
ILUSTRASI 

Tokoh feminis Catharine MacKinnon secara tegas menyatakan bahwa dominasi laki-laki dalam kehidupan privat adalah manifestasi politik kekuasaan yang menjadikan tubuh dan pengalaman perempuan sebagai wilayah penaklukan (Catharine A. MacKinnon:Toward a Feminist Theory of the State;1989). 

Dengan kata lain, relasi personal dalam rumah tangga tidak terlepas dari relasi politik yang lebih luas: relasi antara gender dominan dengan gender subordinat.

Dalam realitas masyarakat Indonesia yang masih sarat norma patriarkal, konstruksi maskulinitas yang dilegitimasi sejak anak-anak tumbuh memupuk keyakinan sebagian laki-laki bahwa kontrol atas pasangan adalah hak yang wajar. 

Persepsi ini diperkuat oleh narasi agama yang kadang ditafsirkan secara sempit dan bias gender, seolah-olah kepatuhan total istri adalah ukuran keimanan. 

Tafsir semacam ini berbahaya karena mematikan ruang dialog setara antara suami dan istri, dan ketika perbedaan muncul, kekerasan menjadi cara penaklukan terakhir. 

Oleh sebab itu, pendekatan feminis radikal menekankan pentingnya dekonstruksi wacana patriarkal agar kekerasan dalam rumah tangga tidak lagi dianggap penyimpangan kecil, melainkan sebagai kejahatan yang berakar pada ketidaksetaraan struktural.

Selain aspek sosial, dimensi trauma psikologis yang dialami korban kekerasan dalam rumah tangga juga memerlukan perhatian serius. 

Judith Herman (1992) dalam karyanya Trauma and Recovery menjelaskan bahwa korban kekerasan domestik kerap mengalami apa yang disebut complex PTSD, yaitu gangguan stres pascatrauma yang muncul akibat paparan berulang atas kekerasan dalam jangka Waktu lama. 

Trauma jenis ini tidak hanya berupa kilas balik peristiwa, melainkan juga perubahan mendasar pada identitas diri, kesulitan membangun relasi yang sehat, serta kehilangan rasa aman secara permanen. 

Dalam konteks Indonesia, layanan pemulihan trauma masih terbatas, terutama di daerah pedesaan.

Kondisi ini membuat sebagian korban hidup dengan luka psikis yang tak kunjung pulih, meskipun kekerasan fisik telah berhenti.

Efek trauma ini dapat diperparah oleh sikap lingkungan sosial yang lebih sering menanyakan, “Mengapa kamu tidak pergi dari rumah itu?” daripada bertanya, “Apa yang bisa kami lakukan untuk membantumu keluar?” 

Pertanyaan pertama cenderung menyalahkan korban, seolah-olah ketidakmampuannya meninggalkan pelaku adalah tanda kelemahan atau kebodohan. 

Padahal, banyak studi psikologi sosial menunjukkan bahwa korban kekerasan dalam rumah tangga mengalami fenomena learned helplessness, yakni kondisi mental ketika individu merasa tidak berdaya karena telah berulang kali gagal melarikan diri dari situasi kekerasan (Leonore E. Walker:The Battered Woman;1979). 

Oleh sebab itu, pemulihan trauma korban bukan hanya soal keberanian individu, melainkan juga soal dukungan kolektif yang empatik dan tidak menghakimi.

Dari sudut pandang kebijakan publik, penghapusan kekerasan dalam rumah tangga menuntut komitmen lintas sektor yang lebih konkret. 

Meski secara normatif Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 telah menjadi tonggak penting, implementasinya masih menghadapi kendala serius. 

Salah satu masalah krusial adalah keterbatasan rumah aman yang representatif di kabupaten/kota. 

Sebagian besar shelter dikelola oleh organisasi masyarakat sipil dengan kapasitas dana terbatas. 

Di banyak daerah, perempuan yang ingin melaporkan kekerasan harus menempuh jarak puluhan kilometer, yang pada akhirnya membuat banyak korban memilih bertahan dalam penderitaan.

Selain itu, literasi hukum bagi masyarakat juga masih rendah bahkan perempuan korban KDRT tidak memahami mekanisme pelaporan yang tersedia atau ragu akan keberpihakan aparat penegak hukum.

Padahal, literasi hukum merupakan kunci bagi perempuan untuk dapat menuntut hak perlindungan secara efektif. 

Untuk itu, pemerintah perlu lebih aktif menjalankan kampanye pendidikan hukum berbasis komunitas, terutama melalui Pusat Pembelajaran Keluarga ( PUSPAGA) yang sudah dibentuk di sejumlah kabupaten/kota.

Tidak kalah penting, reformasi penanganan KDRT juga harus mencakup pelatihan apparat kepolisian agar lebih sensitif terhadap dinamika psikologis korban. 

Masih sering ditemui kasus di mana laporan korban tidak ditindaklanjuti serius atau justru dijadikan bahan candaan yang merendahkan martabat pelapor. 

Budaya institusional semacam ini jelas menciptakan hambatan tambahan dalam proses penyelesaian kasus. Dalam konteks ini, pendekatan berbasis hak asasi manusia mesti menjadi paradigma utama. 

Setiap laporan kekerasan domestik harus diperlakukan sebagai prioritas penegakan hukum, bukan sekadar urusan rumah tangga yang sebaiknya diselesaikan secara damai.

Pendekatan pemulihan pun tidak boleh hanya terfokus pada korban. Pelaku juga perlu diintervensi melalui program rehabilitasi perilaku agresif. 

Berdasarkan analisis yang dilakukan oleh Travers dan rekan-rekannya, program intervensi terhadap pelaku kekerasan dalam rumah tangga dapat digunakan dengan pendekatan risk, need, responsivity (RNR), yaitu kerangka kerja intervensi yang dirancang untuk menurunkan risiko kekambuhan pelaku melalui penyesuaian tingkat risiko, kebutuhan kriminogenik dan responsivitas individu. 

Efektivitas melalui intervensi berbasi program RNR mampu menurunkan risiko kekambuhan pelaku kekerasan dalam rumah tangga hingga 48 persen dalam setahun dan 40 hingga 46 persen dalam periode satu hingga dua tahun apabila dijalankan secara intensif dan konsisten (Travers, et.al: Clinicial Psychology Review:2021). 

Di Indonesia, program semacam ini masih sangat terbatas. Ke depannya, model rehabilitasi pelaku mesti diintegrasikan dalam sistem hukum pidana dan perlindungan sosial, sehingga penyelesaian kasus tidak hanya bersifat represif, tetapi juga transformatif.

Jika ditilik dalam perspektif teori interaksionisme simbolik, rumah tangga sebetulnya adalah arena di mana simbol, makna, dan identitas terus dinegosiasikan (Herbert Blumer:Symbolic Interactionis:1969).

Ketika relasi kekuasaan dalam rumah tangga dikukuhkan lewat simbol dominasi, misalnya suara yang meninggi, gestur ancaman, atau pemaksaan kehendak, maka makna hubungan itu berubah dari kemitraan menjadi penaklukan. 

Dalam jangka panjang, perubahan makna ini mematikan kepercayaan yang menjadi fondasi keluarga. 

Oleh sebab itu, upaya penguatan relasi yang sehat memerlukan transformasi simbolik melalui dialog setara, negosiasi kebutuhan, dan pengakuan akan batasan masing-masing individu.

Pada akhirnya, perjuangan untuk menghapus kekerasan dalam rumah tangga tidak dapat hanya diserahkan kepada negara atau aktivis perempuan. Ini adalah tanggung jawab moral dan sosial setiap warga. 

Rumah sebagai unit terkecil masyarakat harus dikembalikan fungsinya menjadi ruang perlindungan, bukan tempat suburnya ketakutan. 

Pendidikan kesetaraan gender, penegakan hukum yang berkeadilan, pemulihan trauma, dan rehabilitasi pelaku harus berjalan bersamaan sebagai satu ekosistem kebijakan yang berpihak pada martabat manusia.

Hanya dengan keberanian kolektif untuk menggugat norma yang timpang, kita dapat memastikan bahwa setiap individu baik perempuan, laki-laki, maupun anak mempunyai hak yang sama untuk hidup bebas dari kekerasan. 

Masyarakat yang beradab adalah masyarakat yang tidak membiarkan kekerasan  terjadi di balik pintu rumah dan tidak lagi menggunakan budaya diam sebagai alasan untuk menunda keadilan. (*)

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News 

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved