Opini
Opini: Kekerasan dalam Rumah Tangga, Luka Struktural di Balik Dinding Privasi
Fenomena kekerasan dalam rumah tangga di Indonesia telah berulang kali dikonfirmasi dalam data empiris lembaga-lembaga resmi.
Upaya pencegahan jangka panjang memerlukan investasi dalam pendidikan kesetaraan gender sejak usia dini.
Sekolah menjadi ruang strategis untuk menanamkan nilai antikekerasan dan penghormatan terhadap martabat manusia.
Selain itu, lembaga agama memiliki pengaruh besar dalam membentuk nilai moral masyarakat.
Oleh sebab itu, gereja, masjid, pura, dan organisasi keagamaan lainnya hendaknya secara konsisten menyuarakan penolakan terhadap kekerasan domestik melalui khotbah, penyuluhan, dan pendampingan pastoral.
Dalam perspektif budaya, masyarakat perlu diajak merefleksikan secara kritis norma-norma yang menormalisasi dominasi satu pihak dalam rumah tangga.
Refleksi ini harus dilakukan dalam dialog terbuka yang melibatkan tokoh adat, pemuka agama, aktivis perempuan, dan pemerintah daerah.
Ketika budaya diam dan penyangkalan publik dikikis, maka korban akan memiliki keberanian lebih besar untuk melapor dan mendapatkan dukungan.
Jika ditinjau dalam kerangka teori fungsionalisme struktural, keluarga diidealkan sebagai sistem yang menciptakan stabilitas dan kesejahteraan psikososial anggotanya (Robert F. Bales and Talcont Parsons: Family, Socialization and Interaction Process;1955).
Akan tetapi, kekerasan dalam rumah tangga menjadi bukti nyata disfungsi sistem keluarga, yang alih-alih menjadi tempat pertumbuhan, justru menjadi sumber penderitaan.
Dalam situasi demikian, intervensi negara dan masyarakat sipil menjadi sah secara etis dan legal, karena kekerasan bukanlah hak privat, melainkan pelanggaran hak asasi manusia.
Sebagai refleksi awal ini, penting untuk menegaskan bahwa penghapusan kekerasan dalam rumah tangga tidak cukup hanya mengandalkan keberanian korban untuk melapor.
Ia memerlukan keberanian kolektif seluruh masyarakat untuk menciptakan ekosistem yang berpihak pada keselamatan korban, menolak normalisasi kekerasan, dan mengikis budaya patriarkal yang menjadi akar dari banyak penderitaan.
Dengan membangun kesadaran kritis dan sistem perlindungan yang tangguh, kita dapat mewujudkan rumah tangga yang bukan hanya tempat berlindung, melainkan juga ruang tumbuhnya kehidupan yang bermartabat.
Apabila persoalan kekerasan dalam rumah tangga hendak dibedah lebih dalam, perspektif teori feminis radikal memiliki relevansi yang tidak dapat diabaikan.
Teori ini berpandangan bahwa kekerasan domestik bukan hanya persoalan perilaku menyimpang individu, melainkan konsekuensi dari sistem sosial yang secara historis dan struktural meminggirkan perempuan.
Opini: Membaca Fenomena Eat the Rich di Indonesia |
![]() |
---|
Opini: Menyoal Rendahnya Indeks Pembangunan Manusia di Nusa Tenggara Timur |
![]() |
---|
Opini: Remaja dan Seni Mencintai, Membaca Ulang Pacaran di Zaman Kini |
![]() |
---|
Opini: Mohon Tenang Sedang Pemilihan Rektor Undana |
![]() |
---|
Opini: Kasus Eks Kapolres Ngada Cacat Hukum atau Cacat Nurani? |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.