Opini

Opini: Kekerasan dalam Rumah Tangga, Luka Struktural di Balik Dinding Privasi

Fenomena kekerasan dalam rumah tangga di Indonesia telah berulang kali dikonfirmasi dalam data empiris lembaga-lembaga resmi. 

|
Editor: Dion DB Putra
POS-KUPANG.COM/HO-FOTO BUATAN AI
ILUSTRASI 

Tekanan finansial, pengangguran, dan ketidakstabilan pendapatan sering kali menjadi pemicu konflik rumah tangga yang kemudian berkembang menjadi kekerasan. 

Persoalan ekonomi ini tidak jarang memaksa korban untuk tetap bertahan dalam relasi yang merusak, karena ketergantungan ekonomi yang akut.

Dimensi psikologis pun tidak dapat diabaikan dalam memahami kekerasan rumah tangga. 

Studi yang dilakukan oleh Walker mengenai Cycle Theory of Violence menemukan bahwa kekerasan kerap berlangsung dalam pola siklik yang dimulai dari fase ketegangan, fase serangan, hingga fase bulan madu, yaitu saat pelaku meminta maaf dan menunjukkan penyesalan (Leonore E. Walker:The Battered Woman;1979). 

Pola ini membangun jebakan psikologis yang membuat korban merasa kesulitan melepaskan diri, karena muncul harapan semu bahwa pelaku akan berubah. 

Dalam situasi demikian, ketakutan bercampur dengan rasa sayang, sehingga korban enggan mencari pertolongan.

Selain dampak fisik yang kasatmata, kekerasan dalam rumah tangga membawa luka psikis yang jauh lebih dalam dan memerlukan pemulihan jangka panjang. 

Korban umumnya mengalami trauma kompleks yang mencakup depresi, kecemasan, gangguan tidur, kehilangan rasa percaya diri, dan perasaan tidak berdaya yang menetap (Judith Lewis Herman: Trauma and Recovery;1992). 

Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan penuh kekerasan juga mengalami konsekuensi yang serius. 

Paparan kekerasan domestik pada masa kanak-kanak terbukti meningkatkan risiko menjadi pelaku atau korban kekerasan pada masa dewasa. 

Dengan demikian, kekerasan dalam rumah tangga bukan hanya menghancurkan individu, melainkan juga mewariskan siklus kekerasan antargenerasi.

Strategi penanggulangan kekerasan dalam rumah tangga memerlukan pendekatan multisektor.

Negara memegang peran utama melalui kebijakan hukum dan penyediaan layanan perlindungan. 

Aparat kepolisian perlu memiliki kapasitas dan kepekaan dalam menangani lapon kekerasan, termasuk penerapan mekanisme restorative justice bagi korban yang lebih memilih penyelesaian non-litigasi dengan pendampingan yang memadai. 

Penguatan kapasitas lembaga layanan seperti rumah aman, pusat krisis terpadu, dan lembaga bantuan hukum juga merupakan langkah krusial agar korban tidak hanya mendapatkan perlindungan fisik, tetapi juga pemulihan psikologis.

Halaman
1234
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved