Opini
Opini: Kekerasan dalam Rumah Tangga, Luka Struktural di Balik Dinding Privasi
Fenomena kekerasan dalam rumah tangga di Indonesia telah berulang kali dikonfirmasi dalam data empiris lembaga-lembaga resmi.
Oleh: Martinus Meli
Mahasiswa Pascasarjana IFTK Ledalero, Flores - Nusa Tenggara Timur.
POS-KUPANG.COM - Kekerasan dalam rumah tangga merupakan salah satu persoalan sosial yang kompleks, yang keberadaannya tidak hanya melukai korban secara fisik, melainkan juga merampas martabat, menghancurkan struktur psikologis, dan menimbulkan efek traumatik yang panjang.
Persoalan ini menjadi semakin pelik karena kerap dibungkus dalam kerahasiaan relasi keluarga, sehingga penderitaan korban berlangsung secara tersembunyi di balik citra rumah tangga yang tampak baik-baik saja di mata publik.
Oleh karena itu, penting untuk menempatkan kekerasan dalam rumah tangga dalam perspektif ilmu sosial, hukum, dan psikologi secara terpadu, agar persoalan ini dapat diurai bukan hanya pada lapisan gejala, melainkan juga hingga ke akar penyebabnya.
Dalam kerangka yuridis, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga secara tegas mendefinisikan kekerasan dalam rumah tangga sebagai perbuatan yang mengakibatkan penderitaan fisik, seksual, psikologis, dan/atau
penelantaran rumah tangga, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kebebasan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga (UU No.23/2004).

Definisi tersebut menunjukkan bahwa kekerasan dalam rumah tangga mencakup spektrum yang luas, tidak hanya terbatas pada tindakan pemukulan atau penganiayaan secara fisik, melainkan juga bentuk-bentuk penindasan nonfisik yang dampaknya tidak kalah berat.
Fenomena kekerasan dalam rumah tangga di Indonesia telah berulang kali dikonfirmasi dalam data empiris lembaga-lembaga resmi.
Berdasarkan laporan Catatan Tahunan Komisi Nasional (Komnas) Perempuan dan mitra CATAHU dalam DPR RI Komisi VIII, kekerasan terhadap perempuan mengalami peningkatan yang signifikan yakni pada tahun 2023 sebanyak 401.975 naik menjadi 445.502 kasus pada tahun 2024.
Selain itu, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) melalui data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) menunjukkan sejak 1 Januari hingga 21 April 2025 terdapat 6.918 laporan kekerasan dan 5.950 kasus (86,01 persen) di
antaranya melibatkan perempuan sebagai korban (Komisi VIII Agama, Sosial, Perempuan dan Anak: Kekerasan Seksual terhadap Perempuan dalam Konteks Relasi Kuasa, diakses pada Juli 2025).
Fakta ini bukan hanya menunjukkan tingginya prevalensi kekerasan domestik, melainkan juga mengindikasikan lemahnya sistem perlindungan yang mampu menjamin keselamatan korban.
Dalam perspektif sosiologis, kekerasan dalam rumah tangga dapat dipahami sebagai produk dari relasi kuasa yang timpang antara laki-laki dan perempuan, yang diperkuat oleh budaya patriarkal yang sudah mengakar lama.
Patriarki dalam keluarga kerap memosisikan laki-laki sebagai figur superior yang memiliki otoritas mutlak atas istri dan anak-anak. Otoritas yang tidak dibarengi tanggung jawab moral ini pada akhirnya menjelma menjadi legitimasi kekuasaan yang agresif dan represif.
Sosiolog Sylvia Walby dalam teorinya tentang struktur patriarki menegaskan bahwa dominasi laki-laki terhadap perempuan bersifat sistemik, bukan sekadar individual (Walby:Theorizing Patriarchy;1990).
Oleh karena itu, kekerasan dalam rumah tangga tidak dapat dipisahkan dari konstruksi sosial yang menormalisasi subordinasi perempuan.
Selain relasi kuasa yang timpang, kekerasan dalam rumah tangga juga dipicu oleh faktor ekonomi.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.