Opini

Opini: Akses Informasi yang Terbuka dan Krisis Etika Generasi Alfa

Akibatnya, alih-alih tercerahkan banyak pelajar justru terjebak dalam ilusi tahu — di mana informasi diterima mentah-mentah tanpa proses refleksi

Editor: Dion DB Putra
POS-KUPANG.COM/HO
ILUSTRASI 

Etika dalam pendidikan digital tidak boleh hanya menjadi muatan lokal atau kurikulum tambahan, tetapi harus ditanamkan sebagai kompetensi inti dalam pembelajaran modern. 

Fiannaca (2024) dalam penelitiannya menegaskan bahwa calon guru yang dibekali pelatihan literasi media dan digital secara serius memiliki kesadaran lebih tinggi terhadap tanggung jawab etis mereka. 

Mereka cenderung lebih reflektif dalam membimbing siswa untuk memahami konteks, memverifikasi sumber, dan menyikapi informasi palsu atau bias secara kritis. 

Cismaru et al. (2018) bahkan mengusulkan konsep digital intelligence—kemampuan mengintegrasikan literasi teknologi, penguasaan informasi, serta sensitivitas moral—sebagai bentuk kecerdasan baru yang harus dibangun dalam pendidikan masa kini. 

Hal ini menegaskan bahwa kecakapan teknologi harus berjalan seiring dengan kesadaran akan dampak sosial, politik, dan spiritual dari penggunaannya.

Dalam konteks pendidikan Kristen, peran ini menjadi semakin mendalam dan transenden. 

Sekolah Kristen tidak hanya bertanggung jawab dalam membekali siswa dengan kecakapan akademik dan digital, tetapi juga memikul amanat iman untuk membentuk manusia seutuhnya—secara intelektual, moral, dan rohani. 

Etika tidak sekadar menjadi alat berpikir kritis, tetapi menjadi bagian dari panggilan untuk hidup dalam kebenaran, kasih, dan keadilan sebagaimana nilai-nilai Injil ajarkan.

Dalam surat Roma 12:2, Rasul Paulus menasihati agar kita “jangan menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budi,” yang dalam konteks pendidikan digital, dapat dimaknai sebagai ajakan untuk menolak arus informasi yang menyesatkan dan hidup dalam terang kebenaran Kristus.

Guru dan pendidik Kristen dengan demikian dipanggil menjadi penjaga nilai dan penuntun moral di tengah dunia digital yang sarat godaan relativisme dan manipulasi data. 

Mereka bukan hanya fasilitator teknologi, tetapi juga imam pengetahuan yang harus mengajarkan discernment (kemampuan membedakan yang benar dan salah), integritas, serta kasih terhadap sesama dalam ruang digital. 

Kurikulum di sekolah Kristen harus mengintegrasikan pendidikan etika digital dengan nilai-nilai iman, bukan sekadar sebagai respon terhadap perubahan zaman, tetapi sebagai perwujudan dari visi besar: membentuk generasi alfa yang tidak hanya melek teknologi, tetapi juga berakar kuat dalam iman, etika, dan tanggung jawab sosial.

Dalam badai digitalisasi global, etika menjadi jangkar yang menuntun bukan hanya arah berpikir, tetapi juga arah hidup.

Membentuk Generasi Alfa yang Kritis dan Beretika – Sinergi Pendidikan, Kebijakan, Keluarga, dan Gereja

Generasi alfa adalah generasi pertama yang sepenuhnya akan menjalani kehidupan berdampingan dengan kecerdasan artifisial (AI), Internet of Things (IoT), dan otomatisasi dalam hampir semua aspek kehidupan, termasuk pendidikan, komunikasi, ekonomi, hingga pengambilan keputusan sosial. 

Dalam konteks ini, tantangan utama pendidikan bukan lagi terbatas pada memperkenalkan teknologi, tetapi pada bagaimana membentuk individu yang mampu menggunakan teknologi secara etis, kritis, dan bertanggung jawab. 

Pertanyaan kunci yang harus diajukan bukan lagi “sejauh mana anak-anak memahami teknologi”, melainkan “dapatkah mereka membedakan kebenaran dan kepalsuan, dan bertindak sesuai prinsip etika dalam ekosistem digital?”

Sebagaimana dijelaskan oleh Holmes dan Porayska-Pomsta (2023), pendidikan berbasis AI harus dilandasi oleh kesadaran akan dampak sosial, kultural, dan moral dari setiap interaksi digital yang dilakukan.

Implikasi dari tantangan ini bersifat multidimensional dan menuntut keterlibatanbanyak pihak. 

Pertama, kebijakan pendidikan nasional harus mulai menempatkan literasi etika digital sebagai komponen inti kurikulum. 

Ini berarti mengintegrasikan pengajaran tentang privasi data, tanggung jawab digital, dan implikasi moral penggunaan teknologi dalam semua mata pelajaran, bukan hanya dalam mata pelajaran teknologi informasi. 

Kurikulum perlu didesain untuk memperkuat karakter siswa dalam menghadapi banjir informasi dan godaan algoritma yang mengutamakan keterlibatan, bukan kebenaran. 

Pemerintah dan lembaga Pendidikan harus mempercepat regulasi dan pengembangan kompetensi guru agar mampu mengintegrasikan pembelajaran berbasis nilai dalam konteks digital yang terus berubah.

Kedua, peran orang tua sangat krusial dalam membentuk kebiasaan digital anak di luar lingkungan sekolah. Literasi teknologi di rumah harus disertai dengan literasi moral. 

Anak perlu diajak berdialog tentang apa yang mereka lihat dan konsumsi secara daring, serta diberikan teladan tentang penggunaan teknologi secara bertanggung jawab. 

Pendidikan karakter tidak dapat berlangsung hanya dalam institusi formal—keluarga adalah sekolah pertama dan utama dalam pembentukan integritas.

Ketiga, gereja dan komunitas iman memegang peranan vital dalam menanamkan nilai-nilai kekristenan di tengah transformasi digital. 

Gereja bukan hanya tempat ibadah, tetapi juga pusat formasi moral. Dalam tradisi Kristen, kebenaran bukan sekadar fakta, melainkan sesuatu yang dihidupi dan diwujudkan dalam kasih dan keadilan. 

Gereja dapat menjadi ruang bagi generasi muda untuk belajar menggunakan teknologi demi pelayanan, kesaksian, dan karya kasih. 

Sekolah Kristen, dalam hal ini, harus menjadi pelopor dalam menyinergikan pembelajaran teknologi dan pembinaan spiritualitas—mengajarkan siswa bahwa menjadi cakap digital tanpa akhlak adalah kehampaan moral.

Dengan sinergi antara kebijakan pendidikan yang berpihak pada nilai, keluarga yang aktif mendampingi, dan gereja yang konsisten membina, maka pendekatan holistic yang memadukan literasi teknologi, etika, dan iman dapat benar-benar terwujud.

Hanya melalui kolaborasi inilah kita mampu menyiapkan generasi alfa menjadi warga digital yang bukan hanya mahir dalam mengoperasikan teknologi, tetapi juga mampu menavigasi dunia dengan kebijaksanaan, empati, dan integritas.

Kesimpulan

Tulisan ini menyoroti tantangan besar dalam membentuk generasi alfa—generasi digital pertama—yang tidak hanya cakap dalam teknologi, tetapi juga matang secara etika dan moral. 

Meskipun revolusi informasi dan kecerdasan artifisial (AI) menawarkan akses pengetahuan tanpa batas, realitas menunjukkan adanya katastropi pengetahuan, information overload, dan krisis etika akibat kurangnya literasi kritis dan moral dalam menyikapi arus data yang tak terfilter. 

Oleh karena itu, pendidikan harus bertransformasi dari sekadar transmisi informasi menjadi proses pembentukan karakter yang berakar pada nilai. 

Pendidik, khususnya di sekolah Kristen, dipanggil untuk mengintegrasikan literasi digital dan pembinaan iman dalam kurikulum, menjadikan etika sebagai kompetensi inti. 

Selain itu, kebijakan pendidikan nasional, keterlibatan aktif orang tua, dan peran gereja sebagai Pembina nilai rohani menjadi elemen penting dalam menciptakan sinergi holistik. 

Dengan pendekatan kolaboratif ini, generasi alfa dapat dipersiapkan menjadi warga digital yang tidak hanya pintar, tetapi juga bijak, kritis, dan bertanggung jawab. (*)

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News 

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved