Opini
Opini: Akses Informasi yang Terbuka dan Krisis Etika Generasi Alfa
Akibatnya, alih-alih tercerahkan banyak pelajar justru terjebak dalam ilusi tahu — di mana informasi diterima mentah-mentah tanpa proses refleksi
Oleh: Soni Laiju Malana, M.Pd., C.GMC
Dosen Sekolah Tinggi Agama Kristen Kupang, dan Certified Growth Mindset Coach
POS-KUPANG.COM - Di era digital yang berkembang sangat pesat, revolusi informasi telah membuka pintu akses terhadap pengetahuan dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Teknologi seperti kecerdasan artifisial (AI), algoritma pembelajaran mesin (Machine Learning), dan perangkat lunak pencarian canggih memungkinkan generasi alfa — mereka yang tumbuh bersama layar sentuh dan cloud — untuk menjangkau jutaan informasi hanya dalam hitungan detik. Namun, kelimpahan ini justru membawa dilema epistemologis baru.
Head et al (2020) mencatat bahwa para siswa kini terjebak dalam lanskap informasi yang "melimpah namun membingungkan" di mana informasi tidak hanya datang dari sumber akademik, tetapi juga dari media sosial, konten algoritmik, dan mesin rekomendasi yang sering kali memperkuat bias.
Dalam konteks ini, kecepatan distribusi informasi tidak selalu sejalan dengan kedalaman pemahaman, sehingga melahirkan apa yang disebut sebagai katastropi pengetahuan.
Istilah ini mengacu pada fenomena ketika keterpaparan tinggi terhadap data justru membuat individu kebingungan memilah mana yang valid, relevan, dan dapat dipertanggungjawabkan.
Pedro et al. (2019) menyebut kondisi ini sebagai information overload, yakni situasi di mana manusia kewalahan memproses banjir data karena tidak memiliki cukup literasi kritis untuk mengevaluasi informasi secara sistematis.
Akibatnya, alih-alih tercerahkan, banyak pelajar justru terjebak dalam ilusi tahu — di mana informasi diterima mentah-mentah tanpa proses refleksi dan verifikasi.
Inilah ironi dari revolusi informasi: teknologi yang seharusnya membebaskan pengetahuan, justru menciptakan paradoks kebingungan epistemik.
Generasi Alfa dan Tantangan Literasi Digital
Generasi alfa, yaitu generasi yang lahir dan besar dalam ekosistem digital yang serba terhubung, menghadapi tantangan yang unik dan kompleks dalam hal literasi digital.
Mereka tidak hanya menjadi pengguna aktif perangkat digital sejak usia dini, tetapi juga terbiasa dengan kehadiran teknologi cerdas seperti asisten virtual, algoritma personalisasi, dan media sosial berbasis AI.
Namun, kemahiran teknologis yang tinggi tidak otomatis diiringi dengan kedewasaan dalam menyikapi dampaknya.
Sebagai pendidik, tantangan utama kita bukan sekadar memperkenalkan alat atau aplikasi baru, melainkan membentuk fondasi literasi digital yang etis dan kritis.
Penelitian Hristovska (2023) menunjukkan bahwa remaja dengan tingkat literasi digital tinggi sekalipun masih menunjukkan kelemahan dalam pengambilan keputusan yang melibatkan pertimbangan etika, terutama ketika berhadapan dengan konten manipulatif atau informasi yang bias secara algoritmis.
Soni Laiju Malana
generasi alfa
kecerdasan buatan
algoritma
Opini Pos Kupang
POS-KUPANG.COM
Sekolah Tinggi Agama Kristen Kupang
Opini: Prada Lucky dan Tentang Degenerasi Moral Kolektif |
![]() |
---|
Opini: Drama BBM Sabu Raijua, Antrean Panjang Solusi Pendek |
![]() |
---|
Opini: Kala Hoaks Menodai Taman Eden, Antara Bahasa dan Pikiran |
![]() |
---|
Opini: Korupsi K3, Nyawa Pekerja Jadi Taruhan |
![]() |
---|
Opini: FAFO Parenting, Apakah Anak Dibiarkan Merasakan Akibatnya Sendiri? |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.