Opini

Opini: Akses Informasi yang Terbuka dan Krisis Etika Generasi Alfa

Akibatnya, alih-alih tercerahkan banyak pelajar justru terjebak dalam ilusi tahu — di mana informasi diterima mentah-mentah tanpa proses refleksi

Editor: Dion DB Putra
POS-KUPANG.COM/HO
ILUSTRASI 

Fekete et al. (2025) menambahkan bahwa ketidaksadaran terhadap bagaimana algoritma bekerja telah membuat sebagian besar anak muda menjadi korban dari apa yang disebut “ bubble informasi” atau ruang gema digital (echo chamber), di mana mereka hanya terpapar pada pandangan yang memperkuat keyakinan mereka sendiri. 

Dalam konteks ini, pendidikan harus melampaui ranah kognitif menuju pembentukan karakter moral.

Literasi digital tidak boleh dipahami semata-mata sebagai kemampuan menggunakan teknologi, tetapi juga sebagai seperangkat nilai, seperti tanggung jawab, integritas, dan empati dalam dunia maya. 

Maka, transformasi kurikulum yang menekankan pada pemahaman terhadap bias data, privasi digital, serta implikasi sosial dari penggunaan AI menjadi sangat mendesak untuk diprioritaskan demi membekali generasi alfa sebagai warga digital yang cerdas sekaligus bijaksana.

AI dan Krisis Etika dalam Pendidikan

Perkembangan kecerdasan artifisial (AI) dalam dunia pendidikan membawa kemudahan luar biasa dalam akses, analisis, dan distribusi informasi. 

Namun, kemudahan ini sekaligus membuka ruang bagi krisis etika yang semakin kompleks.

AI tidak lagi sekadar menyajikan data secara netral, tetapi juga mampu menciptakan narasi, mengedit gambar dan suara, bahkan menyusun argumen yang meyakinkan tanpa keterlibatan manusia. 

Hal ini menimbulkan risiko besar terhadap integritas informasi, terutama ketika sistem AI digunakan untuk menghasilkan konten tanpa pengawasan etik dan literasi digital yang memadai. 

Usman et al. (2024) menekankan bahwa fenomena deepfake—konten video atau suara palsu berbasis AI yang sulit dibedakan dari yang asli—telah merambah dunia akademik, mengancam kredibilitas sumber dan membingungkan siswa dalam membedakan fakta dan fiksi. 

Sementara itu, penelitian Kassymova et al. (2023) menunjukkan banyak sistem pendidikan global belum memiliki kerangka kebijakan yang memadai untuk menangani kompleksitas etika penggunaan AI di ruang kelas. 

Dalam situasi ini, guru dan pendidik tidak dapat lagi berperan pasif sebagai pengguna teknologi; mereka harus menjadi penjaga kebenaran digital, yakni aktor yang mampu mengidentifikasi disinformasi, memahami cara kerja algoritma, serta membimbing siswa untuk mempertanyakan sumber informasi secara kritis dan etis.

Pendidikan abad ke-21 tidak hanya menuntut literasi digital, tetapi juga literasi moral dalam menghadapi teknologi yang memiliki potensi manipulatif. 

Dengan demikian, kurikulum pendidikan harus diarahkan untuk membekali peserta didik dengan kesadaran bahwa tidak semua yang tampak sahih secara digital adalah benar secara faktual atau etis.

Empat Paradoks Pendidikan dalam Era AI

Halaman
1234
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved