Opini

Opini: Akses Informasi yang Terbuka dan Krisis Etika Generasi Alfa

Akibatnya, alih-alih tercerahkan banyak pelajar justru terjebak dalam ilusi tahu — di mana informasi diterima mentah-mentah tanpa proses refleksi

Editor: Dion DB Putra
POS-KUPANG.COM/HO
ILUSTRASI 

Dalam lanskap pendidikan yang semakin terdigitalisasi, pendidik dihadapkan pada empat paradoks utama yang menandai kompleksitas peran teknologi, khususnya kecerdasan artifisial (AI), dalam proses belajar-mengajar. 

Pertama, keterbukaan akses versus ketertutupan pemahaman. Meskipun siswa kini memiliki akses nyaris tak terbatas terhadap sumber daya digital, hal ini belum tentu berbanding lurus dengan pemahaman makna. 

Mihailidis (2018) menyebut kondisi ini sebagai bentuk paradoks literasi digital, di mana keterbukaan informasi justru mengaburkan kemampuan interpretatif karena minimnya pendampingan kritis. 

Kedua, kecerdasan buatan vs  kebijaksanaan manusia. AI memang mendorong efisiensi dalam manajemen kelas, personalisasi pembelajaran, dan penilaian otomatis, namun ia tak mampu menggantikan dimensi afektif dan etika dari relasi pendidik-peserta didik.

Nilai-nilai seperti empati, kasih sayang, dan intuisi moral tetap eksklusif sebagai domain manusiawi. 

Ketiga, kelimpahan data vs  kelangkaan etika. Haider dan Sundin (2022) menegaskan bahwa meskipun data kini menjadi "mata uang baru"  dalam dunia pendidikan, masih sedikit lembaga yang mengembangkan kurikulum etika digital secara komprehensif. 

Akibatnya, siswa mahir dalam teknis penggunaan data, namun rentan terhadap penyalahgunaannya. 

Keempat, efisiensi digital vs kehilangan konteks budaya. Standarisasi sistem berbasis AI berisiko mengabaikan konteks lokal dan kearifan budaya dalam pembelajaran. 

Ketika algoritma global diterapkan secara seragam, praktik pendidikan lokal yang berbasis nilai komunitas bisa terpinggirkan. 

Oleh karena itu, keempat paradoks ini perlu direspons dengan pendekatan pendidikan yang seimbang antara teknologi, etika, dan budaya lokal agar transformasi digital tidak menggerus fondasi kemanusiaan dalam pendidikan.

Tugas Pendidik: Menanamkan Etika sebagai Kompetensi Inti – Perspektif Umum dan Pendidikan Kristen

Di tengah era digital yang ditandai dengan information overload dan disrupsi nilai akibat kemajuan teknologi kecerdasan artifisial (AI), peran pendidik mengalami transformasi yang sangat fundamental. 

Tugas utama guru bukan lagi semata menyampaikan pengetahuan, melainkan membentuk karakter, menanamkan etika, dan membimbing peserta didik agar mampu menjadi manusia yang bertanggung jawab dalam dunia yang kian kompleks dan digital. 

Memasuki era post-truth, kebenaran tidak lagi ditentukan oleh fakta, tetapi seringkali dikaburkan oleh persepsi emosional, opini viral, atau algoritma platform digital yang membentuk gelembung informasi (echo chamber). 

Dalam kondisi ini, pendidikan yang mengabaikan aspek etika akan gagal menciptakan warga digital yang tangguh secara moral.

Halaman
1234
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved