Opini

Opini: Resistensi Lokal Terhadap Proyek Geotermal di NTT, Belajar dari Berbagai Kajian

Faktor lain yang mewarnai kuatnya resistensi adalah minimnya kepercayaan masyarakat terhadap perusahaan pengelola proyek dan pemerintah. 

|
Editor: Dion DB Putra
POS-KUPANG.COM/HO-DOK PRIBADI
Emanuel Bria 

Di dalam berbagai studi, resistensi terhadap proyek-proyek energi berskala besar muncul karena tiadanya partisipasi masyarakat lokal yang bermakna, misalnya ketika mereka hanya dilibatkan untuk sosialisasi proyek dengan komunikasi satu arah namun hak mereka untuk menentukan apakah sebuah proyek dapat berjalan atau tidak di wilayahnya, tidak diakui.

Padahal sesuai kaidah Hak Asasi Manusia (HAM) dan pendekatan pembangunan berkelanjutan, masyarakat yang tingggal di wilayah terdampak berhak untuk menentukan arah pembangunan yang hendak mereka tempuh. 

Kosongnya ruang demokratis ini menjadikan masyarakat lokal merasa ditinggalkan dalam berbagai keputusan yang menyangkut hidup matinya mereka sendiri dan resistensi menjadi satu-satunya jalan yang dapat mereka tempuh.

Ketiga, kompensasi ekonomi tak setara dengan kerugian ekologis dan sosial

Praktik umum yang kerap dilakukan oleh korporasi dan pemerintah untuk meredakan gerakan resistansi masyarakat lokal adalah kompensasi finansial. 

Namun, pengalaman di berbagai negara menunjukan bahwa nilai uang tunai tidak pernah sebanding dengan kerugian kehilangan tanah warisan, sumber air bersih, dan keberagaman hayati yang menopang kehidupan harian mereka. 

Kompensasi uang, apalagi yang bersifat satu kali, tidak cukup untuk memulihkan daya dukung lingkungan ataupun relasi sosial yang rusak akibat ekspansi proyek industri energi berskala besar. 

Dalam jangka panjang, kerugian sosial-ekologis ini dapat menciptakan kantong-kantong kemiskinan baru, rusaknya relasi sosial dan budaya, bahkan bisa menambah jumlah pengangguran di pedesaan karena basis ekonomi subsistensi mereka seperti pertanian telah hilang.

Keempat, ketidakpercayaan terhadap negara dan korporasi 

Faktor lain yang mewarnai kuatnya resistensi adalah minimnya kepercayaan masyarakat terhadap perusahaan pengelola proyek dan pemerintah. 

Hal ini dapat muncul dari pengalaman langsung masyarakat atas janji-janji pembangunan, lapangan kerja, atau fasilitas publik yang diungkapkan pemerintah maupun korporasi, namun tidak pernah benar-
benar diwujudkan. 

Di sisi lain, beban kerusakan lingkungan dan dampak sosial justru lebih dirasakan masyarakat.

Ketidakpercayaan ini diperburuk oleh lemahnya transparansi atau keterbukaan informasi dan sulitnya akses warga pada data-data teknis proyek. 

Selama perusahaan dan pemerintah gagal membangun komunikasi yang terbuka, jujur, dan setara, maka resistensi masyarakat lokal niscaya akan terus menguat.

Kelima, ketiadaan ruang aspirasi dan representasi

Halaman
123
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved