Opini
Opini: Resistensi Lokal Terhadap Proyek Geotermal di NTT, Belajar dari Berbagai Kajian
Faktor lain yang mewarnai kuatnya resistensi adalah minimnya kepercayaan masyarakat terhadap perusahaan pengelola proyek dan pemerintah.
Oleh: Emanuel Bria
Peneliti Ekonomi Politik Sumber Daya Energi dan Mineral
POS-KUPANG.COM - Di dalam kerangka pembangunan energi bersih dan terbarukan di Indonesia, provinsi Nusa Tenggara Timur ( NTT) sering disebut sebagai daerah dengan potensi energi hijau yang melimpah.
Salah satunya adalah geotermal atau panas bumi yang ditawarkan pemerintah sebagai solusi energi masa depan karena ramah lingkungan, dapat memenuhi kebutuhan listrik dan mendorong pembangunan daerah.
Namun demikian, upaya untuk memaksimalkan sumber daya energi geotermal di NTT tidak berjalan mulus. Gerakan resistensi masyarakat lokal dan Gereja Katolik makin menguat.
Hal tersebut memunculkan pertanyaan mendasar: mengapa geotermal yang merupakan salah satu sumber energi hijau menjadi sumber konflik dan resistensi di akar rumput?
Berikut beberapa catatan berdasarkan berbagai studi terkait konflik dan resistensi masyarakat lokal terhadap proyek-proyek energi dan mineral di berbagai negara yang sekiranya relevan sebagai bahan refleksi bersama dan masukan bagi semua pemangku kepentingan untuk konteks NTT.
Studi-studi terkait konflik sumber daya (resource conflict) di berbagai tempat seperti yang dilakukan Marta Conde (2015) dan sebagainya mengangkat beberapa hal berikut sebagai akar atau sebab-sebab utama penolakan dan resistensi masyarakat lokal terhadap proyek-proyek energi dan mineral.
Pertama, benturan antara metabolisme ekonomi subsistensi versus ekstraksi
Di dalam studi konflik sumber daya, masuknya proyek-proyek energi dan mineral sering ditandai dengan adanya "clash of metabolisms"—benturan antara dua model ekonomi dan pola hidup yang sangat berbeda.
Misalnya di NTT, masyarakat lokal terutama para petani dan masyarakat adat menjalani kehidupannya dengan pola subsistensi yakni bertani, beternak dan memanfaatkan sumber daya alam secara langsung untuk menopang kehidupan harian.
Bagi para petani kecil dan masyarakat adat, tanah, air dan alam bukan hanya sebuah komoditas ekonomi namun sumber pangan, air minum, obat-obatan alami dan juga ruang kebudayaan dan spiritual.
Sementara proyek-proyek energi termasuk yang bersih dan terbarukan dijalankan dengan logika industri skala besar yang membutuhkan lahan yang besar untuk pembangunan proyek termasuk berbagai infrastruktur penunjangnya sehingga menyebabkan perubahan tata lahan.
Hal tersebut dapat mendisrupsi tatanan hidup masyarakat lokal yang subsisten dan membuat mereka tersingkir secara permanen dari tanah-tanah mereka sendiri.
Dalam situasi seperti itu, resistensi masyarakat lokal sesungguhnya digerakan oleh insting manusia yang sangat purba yaitu bertahan hidup (survival).
Kedua, kurangnya partisipasi dan hak masyarakat lokal untuk menentukan nasib sendiri
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.