Cerpen
Cerpen: Benang yang Tak Sampai
Mama Soini tak pernah belajar membaca. Tapi ia bisa menebak musim hanya dari retak di tanah atau arah bayangan pohon asam di halaman.
Suatu hari, orang dari kota datang. Membawa brosur dan rencana. Mereka bilang akan membangun galeri di kota, akan ekspor tenun ke Eropa. “Identitas budaya kita harus dijaga!” kata mereka.
Mama Soini hanya mengangguk, menatap sandal mereka yang bersih dan mobil
yang bunyinya berbeda dengan truk sayur.
Setelah mereka pergi, tak ada yang berubah. Kecuali bahwa setiap tiga bulan sekali, seseorang akan datang membawa katalog dan mengambil beberapa kain. Kadang mereka bayar tepat waktu. Kadang tidak.
Mama Soini tak banyak mengeluh. Ia hanya menambahkan simpul lebih rapat di ujung kain.
Itu saja.
“Benangmu makin halus, Ma,” kata Ina Mone, tetangganya, suatu sore.
Mama Soini tersenyum kecil.
“Mungkin karena makin banyak yang kusimpan di dalamnya.”
Lalu mereka diam. Duduk berdampingan. Memisah biji jagung yang baru dipetik.
Di Kupang, kadang keintiman bukan dari banyak bicara, tapi dari duduk cukup lama bersama panas.
Malam itu, saat listrik padam—seperti biasa tiap Sabtu malam—Mama Soini tetap menenun.
Dengan lampu minyak yang temaram, bayangannya jatuh ke dinding seperti bayangan orang yang masih berharap.
Di tengah-tengah helai benang, ia berhenti. Bukan karena capek, tapi karena ia teringat sesuatu: suara anak lelakinya dulu waktu masih kecil, yang berkata ia ingin naik kapal.
“Aku mau lihat laut yang lebih besar dari laut di sini,” katanya sambil menunjuk ke arah utara.
Sejak itu, Mama Soini tak lagi suka mendengar ombak. Ia lebih memilih bunyi hujan. Tapi hujan sudah jarang datang.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.