Cerpen
Cerpen: Benang yang Tak Sampai
Mama Soini tak pernah belajar membaca. Tapi ia bisa menebak musim hanya dari retak di tanah atau arah bayangan pohon asam di halaman.
***
Di pasar, orang-orang mulai menjual kain dari pabrik. Murah dan seragam. Tak perlu waktu dua minggu untuk membuatnya. Tidak perlu mata yang sabar.
Kain Mama Soini tergantung saja, menunggu dibeli oleh orang yang belum tentu datang.
Kadang, saat ada anak sekolah datang untuk wawancara tugas, mereka bertanya, “Mengapa Mama masih menenun? Bukankah ini berat?”
Ia hanya tertawa, bukan karena pertanyaan itu lucu, tapi karena ia tak tahu harus jawab apa.
Kadang pekerjaan bukan soal pilihan. Kadang menenun bukan pekerjaan, tapi satu-satunya cara mengingat bahwa ia masih ada.
“Kalau saya berhenti menenun,” katanya suatu kali, “mungkin tak ada lagi yang tahu seperti apa bentuk tangan saya.”
Anak-anak sekolah itu menulis cepat di buku mereka. Tapi tak ada yang menuliskan bahwa ketika mereka pergi, Mama Soini menatap langit lama sekali, seolah menunggu sesuatu yang tak punya bentuk.
Suatu malam, angin kencang datang dari selatan. Sebatang pohon jambu jatuh menimpa dapur tetangga.
Atap rumah Mama Soini terangkat di sudutnya, tapi tidak jatuh. Ia tetap tidur di ruang tengah, dekat alat tenunnya.
Paginya, ia menjemur kain-kain yang belum selesai. Tiga lembar, semua dengan warna tanah, merah bata, dan garis hitam seperti jalan yang belum selesai dibangun.
Di sudut salah satu kain, ada bekas tetesan air hujan yang tidak bisa dihilangkan. Tapi Mama Soini membiarkannya. Katanya, itu “tanda waktu.”
Ina Mone melihat dan bertanya, “Mama mau kasih jual juga yang itu?”
Mama Soini menggeleng.
“Yang ini untuk aku. Untuk nanti.”
Tak ada yang bertanya “nanti” itu apa.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.