Liputan Khusus

LIPSUS: 145.268 Anak NTT Tidak Sekolah, Cita-cita Api Ingin Jadi Polisi Pupus di Pasar

Hingga tanggal 8 Juli 2025 jumlah Anak Tidak Sekolah (ATS) di Provinsi NTT mencapai 145.268 anak yang tersebar di 22 kabupaten/kota. 

|
POS-KUPANG. COM/TARI RAHMANIAR ISMAIL
SOSOK API LINOME- Sosok bocah Api Linome (12) saat mengamati para pengunjung pasar yang selesai belanja untuk menawarkan jasa angkat barang di Pasar Inpres Naikoten, Kota Kupang.    

Genjot Gerakan Kembali ke Sekolah 

Pemerintah Provinsi NTT terus menggencarkan upaya penanganan anak-anak yang tidak bersekolah, menyusul data terbaru yang mencatat sebanyak 145 ribu lebih anak tercatat tidak mengenyam pendidikan, baik di tingkat dasar maupun menengah. 

Menanggapi kondisi tersebut, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Provinsi NTT bersama UNICEF menggulirkan inisiatif Gembala atau Gerakan Kembali ke Sekolah sebagai langkah konkrit untuk mengatasi persoalan ini.

“Kita sudah memulai upaya sejak tahun lalu bersama UNICEF, mulai dari pertemuan, rapat koordinasi, hingga penyaluran bantuan langsung kepada anak-anak agar mereka bisa kembali ke sekolah,” ujar Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTT, Ambrosius  Kodo, Senin (14/7). 

KADIS - Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Ambrosius Kodo memperingatkan para kepala sekolah (Kepsek) SMA/SMK tentang pungutan yang harus melihat batas wajar. 
KADIS - Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Ambrosius Kodo memperingatkan para kepala sekolah (Kepsek) SMA/SMK tentang pungutan yang harus melihat batas wajar.  (POS-KUPANG.COM/IRFAN HOI)

Ambrosius  Kodo menegaskan,  penyelesaian masalah anak tidak sekolah membutuhkan kerja sama erat antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten dan kota.

Sebab, tanggung jawab pendidikan dasar SD dan SMP berada di bawah kewenangan kabupaten/kota. Sedangkan jenjang pendidikan menengah SMA/SMK merupakan tanggung jawab pemerintah provinsi.

Sebagai tindak lanjut dari arahan Gubernur NTT, jelas Ambrosius  Kodo, pekan ini akan dilaksanakan rapat koordinasi lintas sektor yang melibatkan mitra-mitra strategis, termasuk Badan Penjaminan Mutu Pendidikan.

Rapat ini akan membahas strategi dan langkah terukur untuk menekan angka anak yang tidak bersekolah.

“Kita tidak bisa hanya fokus pada satu jenjang saja. Harus dipetakan, siapa yang belum masuk SD, siapa yang putus di SMP, dan siapa yang tidak melanjutkan ke SMA/SMK. Kita juga harus gali alasan-alasan kenapa mereka berhenti sekolah,” jelas Ambrosius  Kodo.

Ambrosius Kodo menegaskan, berbagai skema telah disiapkan untuk mendukung anak-anak tetap bersekolah. Misalnya, bagi siswi yang mengalami kehamilan atau anak-anak yang sedang dalam proses hukum, pihak sekolah memastikan mereka tetap mendapatkan pendampingan belajar hingga menyelesaikan ujian.

Sementara itu, untuk lulusan SMP yang tidak melanjutkan ke jenjang menengah karena faktor biaya, sudah tersedia bantuan seperti Program Indonesia Pintar (PIP) serta beasiswa siswa miskin dari pemerintah provinsi.

“Kita pastikan bahwa tidak ada alasan biaya untuk anak tidak melanjutkan sekolah. Tugas kita adalah memastikan mereka tahu dan bisa mengakses bantuan tersebut,” tegas Ambrosius  Kodo.

Bagi anak-anak yang tidak bisa belajar di sekolah reguler karena alasan tertentu, pemerintah juga mendorong alternatif pendidikan seperti Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) dan program SMA Terbuka, yang juga mendapat dukungan mitra pembangunan dan kementerian terkait.

Bahkan, wacana terbaru dari Kementerian Pendidikan membuka peluang bagi anak-anak untuk belajar di tempat ibadah atau fasilitas komunitas lain.

Meski demikian, Ambrosius Kodo mengakui tantangan utama adalah kurangnya data yang utuh dari pemerintah kabupaten/kota mengenai anak-anak yang tidak melanjutkan sekolah.

Data yang dimiliki saat ini mayoritas berasal dari sistem Data Pokok Pendidikan (Dapodik) yang hanya mencatat anak yang putus sekolah, bukan yang tidak mendaftar sama sekali.

“Ini sebabnya sinergi sangat penting. Kita perlu duduk bersama, saling berbagi data dan menyusun strategi agar tidak ada lagi anak-anak yang tercecer dari sistem pendidikan,” pungkas Ambrosius  Kodo. (iar)

Membatasi Akses Pendidikan 

Ombudsman RI Perwakilan Nusa Tenggara Timur (NTT) mengungkapkan ada belasan ribu anak di NTT tidak sekolah. 

Menurut Kepala Ombudsman NTT, Darius Beda Daton, data dari Balai Penjaminan Mutu Pendidikan (BPMP) NTT hingga 8 Juli 2025 menunjukan bahwa jumlah Anak Tidak Sekolah (ATS) di Provinsi NTT mencapai 145.268 anak.

Angka ini tersebar di 22 kabupaten/kota. Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) merupakan penyumbang terbesar anak tidak sekolah dengan angka 22.459, kemudian kabupaten Sumba Barat Daya sebanyak 13.900 dan Kabupaten Kupang sebanyak 11.628 anak.

"Alasan anak tidak sekolah adalah; anak tidak mau sekolah, tidak ada biaya, sekolah jauh dari rumah dan merasa cukup dengan tingkat pendidikan yang ada," kata Darius Beda Daton, Jumat (11/7). 

Ombudsman, kata Darius Beda Daton, terus mendorong agar  pemerintah daerah melalui berbagai kebijakan harus berupaya membebaskan biaya pendidikan di sekolah negeri agar semua anak memiliki akses pendidikan yang sama.  

"Sekolah negeri diharapkan benar-benar menjadi tempat di mana semua anak tanpa kecuali, bisa belajar dan bertumbuh," tambah Darius Beda Daton

Dengan begitu, Darius Beda Daton menyebut, keluarga tidak mampu bisa mengenyam pendidikan. Sebab, seringkali sekolah menerapkan standar biaya tinggi dan kerap membatasi akses pendidikan. 

"Agar orang tua dari keluarga miskin tidak lagi menangis diam-diam karena tak mampu memenuhi angka yang dicantumkan dalam rincian biaya sekolah setiap tahun yang terus mencekik," kata Darius Beda Daton

Menurut Darius Beda Daton, temuan ini akan memperkuat rekomendasi atau permintaan Ombudsman  kepada Gubernur NTT agar adanya sekolah murah, bahkan gratis. 

Selain itu, Darius Beda Daton juga menyebutkan, hanya 32 persen lulusan SMA/SMK/SLB di NTT melanjutkan ke perguruan tinggi. Setidaknya ada 10.590 anak belum pernah sekolah dan 27.287 murid tidak menamatkan SD/SMP.

Ombudsman sering menjumpai praktik beban biaya tinggi dunia pendidikan.

Dalam tahun ajaran 2025/2026, pungutan atau sumbangan komite yang diwajibkan setiap sekolah bervariasi dari Rp 50.000 – Rp.150.000 per siswa setiap bulan. 

"Melebihi dana BOS. Biaya awal masuk kelas X bisa mencapai Rp 2,5 juta," kata Darius Beda Daton. 

DARIUS BEDA DATON - Darius Beda Daton, Kepala Ombudsman NTT.
DARIUS BEDA DATON - Darius Beda Daton, Kepala Ombudsman NTT. (POS-KUPANG.COM/ISTIMEWA)

Sementara itu, praktik diskriminatif pun masih terjadi di sekolah. Ombudsman NTT menemukan ujian sekolah ditunda atau ijazah ditahan karena tunggakan pungutan membatasi akses pendidikan bagi siswa tidak mampu.

Ombudsman NTT meminta ada perbaikan strategis dengan melakukan audit kebutuhan guru, mengurangi pungutan jika guru ASN/PPPK sudah dibiayai negara, menghapus insentif tambahan, dan mengurangi kegiatan non-esensial.

Darius Beda Daton mendorong setiap sekolah menerapkan Keputusan Kadis Pendidikan NTT No. 421/25/PK/2021, membedakan pungutan dan sumbangan, serta menyusun RKAS secara terbuka dan proposional. 

"Tegaskan Surat Edaran Kadis No. 421/1539/PK 2.2/2024 tentang siswa wajib ikut ujian tanpa syarat pungutan, ijazah tidak boleh ditahan dan menyerahkan ijazah yang masih ditahan dengan alasan belum melunasi uang komite dan biaya lainnya," tambah Darius Beda Daton.

Darius Beda Daton menyarankan langkah menuju pendidikan gratis. Darius Beda Daton meminta sekolah untuk hanya mengandalkan dana BOS, tanpa tambahan pungutan dari orang tua/wali siswa.

Cerminan itu, menurut Darius Beda Daton, sudah dilakukan  SMK Negeri Kolbano dan SMAN 2 Kupang Barat. Kedua sekolah ini berhasil menerapkan pendidikan gratis, menjadi teladan bagi sekolah lain.

Sekolah lainnya yang akan mengikuti adalah  SMA Negeri Borong mulai pada tahun ajaran 2025/2026. Untuk itu, Darius Beda Daton menegaskan tahun ajaran kali ini harus menjadi ponakan perubahan menyeluruh. 

"Jadikan tahun pelajaran 2025/2026 momentum perubahan sistemik untuk pendidikan inklusif, adil, dan bebas pungutan di NTT," kata Darius Beda Daton

Bila ini bisa dilakukan maka, akses dan partisipasi pendidikan di semua jenjang lebih meningkat. Langkah ini juga turut memastikan anak bisa mengakses pendidikan. 

Dampak baik lainnya adalah pengurangan angka anak tidak sekolah atau ATS sehingga masa depan anak-anak NTT lebih baik.

Sekolah gratis itu pun bisa menciptakan rasa keadilan dan menghilangkan hambatan finansial dari keluarga miskin untuk mendapatkan pendidikan. 

Hal ini juga, ujar Darius Beda Daton, akan meningkatkan layanan publik khususnya sektor pendidikan sekaligus menjamin masa depan generasi masa depan yang cerah. 

Darius Beda Daton berharap, Pemerintah Daerah, DPRD, dan satuan pendidikan diharapkan dapat mewujudkan pendidikan yang murah atau gratis secara bertahap. 

"Mari jadikan tahun pelajaran 2025/2026 sebagai momentum perubahan sistemik untuk pendidikan yang inklusif, adil, dan bebas pungutan di NTT. Bersama, kita bisa membangun masa depan pendidikan yang cerah dan mewujudkan 'NTT Cerdas'," kata Darius Beda Daton. (fan) 

Dr. Marsel Robot, Dosen FKIP Undana : NTT Alami Kemunduran 

Angka putus sekolah itu disebabkan lemahnya ekonomi keluarga. Di samping peran Pemerintah yang sangat minim.

Akar persoalannya itu ekonomi, dalam pengalaman survei ada temuan orang tua yang menyekolahkan anaknya membutuhkan banyak biaya saat pendaftaran siswa baru. 

Bila satu keluarga dengan tiga orang anak harus masuk pada jenjang pendidikan berbeda, maka orang tua dari keluarga harus menyediakan biaya tinggi untuk memenuhi berbagai perlengkapan sekolah. 

Sementara penghasilan keluarga itu jauh di bawah rata-rata. Alhasil, satu atau dua dari tiga anak itu terpaksa menunda melanjutkan pendidikan. Pemerintah harusnya hadir dalam dilematis warga ini. 

Mungkin bukan sekolah gratis. Tetapi paling penting ketika tahun ajaran baru di mulai, intervensi bantuan saat itu. Sepatu, seragam, karena seragam SMP tidak pakai lagi untuk di SMA jadi beli baru. 

Pergantian jenjang pendidikan adalah bagian paling penting untuk diurai. Kebanyakan kesulitan orang tua saat seperti ini pun sama dengan ketika anak-anak hendak melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi. 

Pemerintah perlu jeli menelisik tentang hal ini. Apalagi persoalan pendidikan adalah kewajiban negara untuk mengurusi. Tidak saja kuantitas, kualitas pendidikan pun harus disusun dengan baik. 

Kebanyakan Negara maju, didasarkan pada aspek pendidikan yang berperan penting. Sebaliknya, suatu daerah atau negara bakal kesulitan bergerak maju jika pendidikan penduduknya tidak terpenuhi dengan baik 
Kalau masyarakat kita seperti ini, kita bukan saja sedang berjalan di tempat. Kita sedang mengalami kemunduran yang luar biasa. 

Saya setuju dengan Ombudsman NTT untuk membantu agar pendidikan murah bahkan gratis bisa diterapkan di Provinsi ini. Tambahan biaya yang sering dialami orang tua saat pendaftaran siswa adalah beban. 

Karena, sistem semacam itu justru ikut menggerus semangat suatu keluarga atau anak-anak untuk mengenyam pendidikan. Jenis pungutan atau sumbangan apapun dari sekolah hendaknya dihapus. 

Agar membentengi itu, perlu ada regulasi yang mempertegas larangan pungutan atau sumbangan. Imbauan saja tidak cukup. Dengan begitu, aturan yang akan menindak para pelanggar. Sebab kalau tidak maka pasti ada yang tidak sekolah. 

AKADEMISI - Akademisi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Nusa Cendana (Undana) Dr Marsel Robot.
AKADEMISI - Akademisi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Nusa Cendana (Undana) Dr Marsel Robot. (POS-KUPANG.COM/HO)

Sisi lain, Pemerintah juga perlu menelusuri lebih dalam alasan sumbangan itu dilakukan. Bila dihapus maka, Pemerintah harus mengintervensi kebijakan untuk pemenuhan. Apalagi, sarana prasarana sekolah di NTT pun banyak yang belum memenuhi syarat kelayakan. 

Selain itu, saya menyarankan agar pengguna dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) hendaknya bisa mengakomodasi berbagai kebutuhan siswa hingga sekolah. Sekalipun ada petunjuk teknis yang dikeluarkan. 

Dengan dana BOS yang diberikan ke sekolah bisa memenuhi berbagai kebutuhan. Saya menyarankan Ombudsman NTT atau pihak terkait agar menelaah aturan penggunaan dana BOS. 

Untuk menanggulangi berbagai pungutan atau kebutuhan lainnya. Itu bagus. Daripada dana BOS itu kita tidak tahu kepentingannya apa saja. Pungutan apa saja, yang bisa disanggupi dana BOS itu, boleh menurut saya.

Sejauh tidak mempunyai konsekuensi yuridis bagi teman-teman kepala sekolah, bendahara atau guru. 

Selama ini penggunaan dana BOS sangat rawan dikorupsi. Anjuran dari Ombudsman NTT itu, baginya merupakan langkah yang baik. Terutama meniru beberapa sekolah di NTT yang meniadakan pungutan dan justru menggunakan dana BOS secara optimal. (fan) 

Ikuti Berita POS-KUPANG.COM lainnya di GOOGLE NEWS

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved