Liputan Khusus

LIPSUS: 145.268 Anak NTT Tidak Sekolah, Cita-cita Api Ingin Jadi Polisi Pupus di Pasar

Hingga tanggal 8 Juli 2025 jumlah Anak Tidak Sekolah (ATS) di Provinsi NTT mencapai 145.268 anak yang tersebar di 22 kabupaten/kota. 

|
POS-KUPANG. COM/TARI RAHMANIAR ISMAIL
SOSOK API LINOME- Sosok bocah Api Linome (12) saat mengamati para pengunjung pasar yang selesai belanja untuk menawarkan jasa angkat barang di Pasar Inpres Naikoten, Kota Kupang.    

POS-KUPANG.COM, KUPANG - Hingga tanggal 8 Juli 2025 jumlah Anak Tidak Sekolah (ATS) di Provinsi NTT mencapai 145.268 anak yang tersebar di 22 kabupaten/kota. 

Menurut data Balai Penjaminan Mutu Pendidikan (BPMP) NTT yang diperoleh Pos Kupang, Senin (14/7), Kabupaten TTS merupakan penyumbang terbesar anak tidak sekolah dengan angka 22.459.

Diikuti kabupaten Sumba Barat Daya  sebesar 13.900 dan Kabupaten Kupang sebanyak 11.628 anak. 

Ada sejumlah alasan anak-anak tersebut tidak sekolah yaitu, anak tidak mau sekolah, tidak ada biaya, sekolah jauh dari rumah dan merasa cukup dengan tingkat pendidikan yang ada. 

“Kami terus mendorong agar  pemerintah daerah  melalui berbagai kebijakan harus terus berupaya membebaskan biaya pendidikan di sekolah negeri agar semua anak memiliki akses pendidikan yang sama. Dengan demikian, orangtua dari keluarga miskin tidak lagi menangis diam-diam karena tak mampu memenuhi angka yang dicantumkan dalam rincian biaya sekolah setiap tahun yang terus mencekik,” ujar Plt Kepala BPMP NTT, Irfan Karim.

Irfan Karim 1
Irfan Karim

Menurut Irfan Karim, data yang sempat tersampaikan ke publik merupakan data yang mengacu pada Dapodik per Juli 2025. “Memang data ATS besar. Tapi tidak masuk lima besar secara nasional," katanya, Senin (14/7). 

Irfan Karim mengatakan, BPMP NTT melakukan berbagai upaya untuk mengatasi masalah itu di antaranya kampanye wajib belajar 13 tahun. Kegiatan itu merumuskan tindak lanjut untuk setiap daerah dalam upaya mengurai ATS. 

Langkah lainnya, kata Irfan Karim, melakukan verifikasi data ke semua pihak. BPMP NTT menjembatani dengan melihat kembali data-data yang ada dengan melibatkan dinas teknis terkait yakni PMD maupun kependudukan. 

Data ATS, kata Irfan Karim, muncul dari berbagai aspek seperti anak murni tidak sekolah, anak yang bersekolah tapi invalid data di dapodik, ada yang karena persoalan lainnya seperti drop out, tidak melanjutkan pendidikan. 

Irfan Karim menyebut, data tersebut kebanyakan pada rentang usia dari 5-21 tahun. Solusinya, dilakukan penerapan beberapa strategi yang direkomendasikan.  

"Misalnya menggunakan pendidikan non formal Paket A, B, dan C bagi anak-anak yang tidak terjangkau sekolah formal. Kami juga memaksimalkan sekolah satu atap," kata Irfan Karim

Langkah lainnya, lanjut Irfan Karim, menggunakan sekolah terbuka, termasuk pendidikan jarak jauh. Solusi ini akan disampaikan ke setiap Pemerintah. Dengan begitu maka saat implementasi kebijakan bisa berjalan maksimal. 

"Data yang ada dikonfirmasi lagi. Data ini belum final. Tugas kami di BPMP mengkonfirmasi data ini. Kami kerja sama dengan Dinas Pendidikan, PMD menghadirkan operator desa untuk mengkonfirmasi data itu dengan NIK. Data yang ada kemungkinan bisa berubah seiring verifikasi data yang dilakukan. BPMP NTT menyebut upaya itu dengan perapian data residu,” ujar Irfan Karim

Ditambahkan Irfan Karim, ada 14 kategori ATS versi Kementerian Pendidikan seperti anak yang tidak mau sekolah, anak yang bekerja, ATS yang karena kondisi geografis, ATS yang putus sekolah karena faktor ekonomi dan lainnya. 

"Untuk menurunkan ini kita perlu melakukan secara sistematik. Kita bekerja sama-sama. Kami BPMP sebagai wakil Kementerian, berusaha melakukan itu, mengadvokasi Pemerintah Daerah untuk menurunkan ATS sesuai dengan kapasitas masing-masing Pemerintah Daerah," kata Irfan Karim
 
Akumulasi Tiga Kategori 

Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten TTU, Beato Yosep Frent Omenu mengatakan ATS di TTU sebanyak 5.348 orang. Jumlah tersebut terdiri dari 3 kategori yakni kategori BPB (belum pernah sekolah), drop out (DO) dan anak yang sudah lulus dan tidak melanjutkan sekolah.

Beato Yosep Frent Omenu menjelaskan, jumlah anak yang belum pernah bersekolah (BPB) sebanyak 2.113 orang, yang DO sebanyak 1.599 orang. Sedangkan anak yang sudah lulus dan tidak melanjutkan sekolah sebanyak 1.636 orang. 

Sementara itu, berdasarkan data, total Angka Partisipasi Murni (APM) atau anak yang sedang mengikuti pendidikan di sekolah jenjang pendidikan PAUD 97,5 persen, APM jenjang SD 98,7 persen dan APM jenjang pendidikan SMP 98.7 persen.

YAKIN -  Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), Beato Yosep Frent Omenu meyakini, data jumlah Anak Tidak Sekolah (ATS) di Kabupaten TTU berpotensi menurun. Pasalnya, masih ada 1 lagi tahapan verifikasi yang menjadi penentu akhir jumlah ATS di Kabupaten TTU.
YAKIN - Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), Beato Yosep Frent Omenu meyakini, data jumlah Anak Tidak Sekolah (ATS) di Kabupaten TTU berpotensi menurun. Pasalnya, masih ada 1 lagi tahapan verifikasi yang menjadi penentu akhir jumlah ATS di Kabupaten TTU. (POS-KUPANG.COM/DIONISIUS REBON)

Menurut Beato Yosep Frent Omenu, ada sejumlah faktor yang menjadi penyebab anak tidak sekolah yakni tidak mau bersekolah, tidak ada biaya atau karena ketidakmampuan orang tua dan lainnya. Data-data tersebut dihimpun Tim ATS yang melakukan survei ke lapangan selama dua pekan didukung anggaran yang dialokasikan dari APBD Kabupaten TTU. 

Verifikasi ini dilaksanakan dalam dua tahap yakni; tahap pertama dilakukan sejak tanggal 28 Maret 2025 secara serentak oleh Tim ATS. Verifikasi tahap kedua akan dilaksanakan pada Agustus 2025.

Berdasarkan hasil verifikasi, penyebab paling dominan anak tidak sekolah adalah tidak ada biaya atau ketidakmampuan orang tua sebesar 44 persen, disusul faktor bekerja 18 persen dan faktor tidak mau bersekolah 15 persen. Sedangkan beberapa faktor penyebab lainnya memiliki prosentase 10 persen ke bawah.

"Dalam upaya mengatasi persoalan tersebut, pemerintah daerah TTU melakukan sejumlah intervensi seperti pengadaan seragam sekolah, tas, buku tulis dan botol air kepada 5.508 siswa SD dan 3.425 siswa SMP," kata Beato Yosep Frent Omenu.

Anggaran yang dialokasikan untuk kepentingan tersebut sebesar Rp. 3.191.550.000. Selain itu siswa yang putus sekolah diarahkan untuk melanjutkan pendidikan ke PKBM dan SKB yang ada di Kabupaten TTU. 

Mimpi Jadi Polisi Pupus 

Anak Tidak Sekolah (ATS) dapat kita temukan di sejumlah tempat seperti pasar. Di Pasar Inpres Naikoten Kupang, di antara deretan pedagang dan tumpukan barang ada seorang anak laki-laki tampak sibuk mengangkat karung dan mengantar dagangan dari satu lapak ke lapak lain.

Wajahnya serius, tubuhnya mungil, namun langkahnya cepat. Dialah Api Linome, 12 tahun, seorang anak yang sudah tak lagi duduk di bangku sekolah.

Dulu, Api Linome punya mimpi sederhana yaitu menjadi polisi. Seragam gagah, tugas menjaga keamanan adalah cita-cita masa kecil yang ia bangun sejak masih belajar membaca. Namun, hidup berkata lain. Perceraian orang tuanya menjadi titik awal dari runtuhnya impian itu.

Ayahnya kini tinggal di Kalimantan, sang ibu menetap di Kefa. Api Linome, anak ketiga dari lima bersaudara, memilih tinggal bersama tantenya di Kampung Alor, Kota Kupang. 

SOSOK API LINOME- Sosok bocah Api Linome (12) saat mengamati para pengunjung pasar yang selesai belanja untuk menawarkan jasa angkat barang di Pasar Inpres Naikoten, Kota Kupang. 
 
SOSOK API LINOME- Sosok bocah Api Linome (12) saat mengamati para pengunjung pasar yang selesai belanja untuk menawarkan jasa angkat barang di Pasar Inpres Naikoten, Kota Kupang.    (POS-KUPANG. COM/TARI RAHMANIAR ISMAIL)

"Saya tidak ikut mama. Saya kerja saja di sini, bisa beli baju sendiri, apa pun yang saya mau," ujar Api Linome, saat diwawancarai Pos Kupang, Senin (14/7). 

Tantenya bekerja sebagai penenun, penghasilan tidak menentu. Untuk bertahan, Api Linome mulai bekerja sebagai pengangkut barang di pasar sejak usianya 10 tahun.

Saban hari dari pukul 07.00  pagi Wita hingga tengah malam, ia bekerja tanpa pilih-pilih barang baik itu karung cabai, beras, hingga barang belanja para pembeli.

Semua Api Linome angkut demi Rp50 ribu sehari. 

Uangnya digunakan untuk kebutuhannya, dan sedikit ia sisihkan untuk neneknya Unu, yang buta dan tinggal di Ayotupas.

“Capek. Tapi saya harus punya uang, supaya bisa tabung. Uangnya nanti kalau sudah besar mau jadi pedagang saja,” ucap Api Linome.

Mimpinya jadi polisi telah pupus, berganti dengan harapan sederhana berdagang sayur agar tak harus capek mengangkat barang terus-menerus.

Di pasar, Api Linome tidak sendiri. Api Linome bersahabat dengan Steven, bocah seusianya yang juga putus sekolah dan bekerja sebagai kuli pasar.

Keduanya sering tidur di sudut pasar pada malam hari, beralaskan karung bekas, menunggu matahari esok untuk kembali bekerja. 

“Kalau hari Sabtu dan Minggu, itu ramai. Kami kerja terus. Kalau lapar, baru pulang atau beli makan dari uang yang ada,” ujar Api Linome.

Meski keras, Api tak pernah mengeluh. Hidup membuatnya belajar dewasa terlalu cepat. Ia tak pernah berkomunikasi lagi dengan orang tuanya, hanya nenek Unu  yang menjadi tempatnya pulang.

"Kalau sudah kumpul uang, saya pulang jenguk Unu,” kata Api Linome.

Ongkos dari Kupang ke Ayotupas, Rp100.000 pulang pergi. 

Api Linome sempat bersekolah di Kupang hingga kelas satu SD, namun keterbatasan biaya dan situasi keluarga membuatnya harus berhenti. Ia lalu kembali ke kampung, mencoba melanjutkan, tapi lagi-lagi harus berhenti karena tidak ada biaya dan perceraian orang tuanya. Kini, ia tak ingat kapan terakhir kali membuka buku.

“Kadang rindu sekolah,” ujar Api Linome lirih.

Bagi Api Linome, tak ada yang lebih penting selain bertahan hidup dan terus berjuang.

Setiap karung yang Api Linome angkut, setiap malam yang ia lalui di pasar, adalah bentuk keteguhan seorang anak yang seharusnya masih bermain, namun sudah berhadapan dengan kerasnya hidup. (iar/fan/bbr)

Genjot Gerakan Kembali ke Sekolah 

Pemerintah Provinsi NTT terus menggencarkan upaya penanganan anak-anak yang tidak bersekolah, menyusul data terbaru yang mencatat sebanyak 145 ribu lebih anak tercatat tidak mengenyam pendidikan, baik di tingkat dasar maupun menengah. 

Menanggapi kondisi tersebut, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Provinsi NTT bersama UNICEF menggulirkan inisiatif Gembala atau Gerakan Kembali ke Sekolah sebagai langkah konkrit untuk mengatasi persoalan ini.

“Kita sudah memulai upaya sejak tahun lalu bersama UNICEF, mulai dari pertemuan, rapat koordinasi, hingga penyaluran bantuan langsung kepada anak-anak agar mereka bisa kembali ke sekolah,” ujar Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTT, Ambrosius  Kodo, Senin (14/7). 

KADIS - Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Ambrosius Kodo memperingatkan para kepala sekolah (Kepsek) SMA/SMK tentang pungutan yang harus melihat batas wajar. 
KADIS - Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Ambrosius Kodo memperingatkan para kepala sekolah (Kepsek) SMA/SMK tentang pungutan yang harus melihat batas wajar.  (POS-KUPANG.COM/IRFAN HOI)

Ambrosius  Kodo menegaskan,  penyelesaian masalah anak tidak sekolah membutuhkan kerja sama erat antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten dan kota.

Sebab, tanggung jawab pendidikan dasar SD dan SMP berada di bawah kewenangan kabupaten/kota. Sedangkan jenjang pendidikan menengah SMA/SMK merupakan tanggung jawab pemerintah provinsi.

Sebagai tindak lanjut dari arahan Gubernur NTT, jelas Ambrosius  Kodo, pekan ini akan dilaksanakan rapat koordinasi lintas sektor yang melibatkan mitra-mitra strategis, termasuk Badan Penjaminan Mutu Pendidikan.

Rapat ini akan membahas strategi dan langkah terukur untuk menekan angka anak yang tidak bersekolah.

“Kita tidak bisa hanya fokus pada satu jenjang saja. Harus dipetakan, siapa yang belum masuk SD, siapa yang putus di SMP, dan siapa yang tidak melanjutkan ke SMA/SMK. Kita juga harus gali alasan-alasan kenapa mereka berhenti sekolah,” jelas Ambrosius  Kodo.

Ambrosius Kodo menegaskan, berbagai skema telah disiapkan untuk mendukung anak-anak tetap bersekolah. Misalnya, bagi siswi yang mengalami kehamilan atau anak-anak yang sedang dalam proses hukum, pihak sekolah memastikan mereka tetap mendapatkan pendampingan belajar hingga menyelesaikan ujian.

Sementara itu, untuk lulusan SMP yang tidak melanjutkan ke jenjang menengah karena faktor biaya, sudah tersedia bantuan seperti Program Indonesia Pintar (PIP) serta beasiswa siswa miskin dari pemerintah provinsi.

“Kita pastikan bahwa tidak ada alasan biaya untuk anak tidak melanjutkan sekolah. Tugas kita adalah memastikan mereka tahu dan bisa mengakses bantuan tersebut,” tegas Ambrosius  Kodo.

Bagi anak-anak yang tidak bisa belajar di sekolah reguler karena alasan tertentu, pemerintah juga mendorong alternatif pendidikan seperti Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) dan program SMA Terbuka, yang juga mendapat dukungan mitra pembangunan dan kementerian terkait.

Bahkan, wacana terbaru dari Kementerian Pendidikan membuka peluang bagi anak-anak untuk belajar di tempat ibadah atau fasilitas komunitas lain.

Meski demikian, Ambrosius Kodo mengakui tantangan utama adalah kurangnya data yang utuh dari pemerintah kabupaten/kota mengenai anak-anak yang tidak melanjutkan sekolah.

Data yang dimiliki saat ini mayoritas berasal dari sistem Data Pokok Pendidikan (Dapodik) yang hanya mencatat anak yang putus sekolah, bukan yang tidak mendaftar sama sekali.

“Ini sebabnya sinergi sangat penting. Kita perlu duduk bersama, saling berbagi data dan menyusun strategi agar tidak ada lagi anak-anak yang tercecer dari sistem pendidikan,” pungkas Ambrosius  Kodo. (iar)

Membatasi Akses Pendidikan 

Ombudsman RI Perwakilan Nusa Tenggara Timur (NTT) mengungkapkan ada belasan ribu anak di NTT tidak sekolah. 

Menurut Kepala Ombudsman NTT, Darius Beda Daton, data dari Balai Penjaminan Mutu Pendidikan (BPMP) NTT hingga 8 Juli 2025 menunjukan bahwa jumlah Anak Tidak Sekolah (ATS) di Provinsi NTT mencapai 145.268 anak.

Angka ini tersebar di 22 kabupaten/kota. Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) merupakan penyumbang terbesar anak tidak sekolah dengan angka 22.459, kemudian kabupaten Sumba Barat Daya sebanyak 13.900 dan Kabupaten Kupang sebanyak 11.628 anak.

"Alasan anak tidak sekolah adalah; anak tidak mau sekolah, tidak ada biaya, sekolah jauh dari rumah dan merasa cukup dengan tingkat pendidikan yang ada," kata Darius Beda Daton, Jumat (11/7). 

Ombudsman, kata Darius Beda Daton, terus mendorong agar  pemerintah daerah melalui berbagai kebijakan harus berupaya membebaskan biaya pendidikan di sekolah negeri agar semua anak memiliki akses pendidikan yang sama.  

"Sekolah negeri diharapkan benar-benar menjadi tempat di mana semua anak tanpa kecuali, bisa belajar dan bertumbuh," tambah Darius Beda Daton

Dengan begitu, Darius Beda Daton menyebut, keluarga tidak mampu bisa mengenyam pendidikan. Sebab, seringkali sekolah menerapkan standar biaya tinggi dan kerap membatasi akses pendidikan. 

"Agar orang tua dari keluarga miskin tidak lagi menangis diam-diam karena tak mampu memenuhi angka yang dicantumkan dalam rincian biaya sekolah setiap tahun yang terus mencekik," kata Darius Beda Daton

Menurut Darius Beda Daton, temuan ini akan memperkuat rekomendasi atau permintaan Ombudsman  kepada Gubernur NTT agar adanya sekolah murah, bahkan gratis. 

Selain itu, Darius Beda Daton juga menyebutkan, hanya 32 persen lulusan SMA/SMK/SLB di NTT melanjutkan ke perguruan tinggi. Setidaknya ada 10.590 anak belum pernah sekolah dan 27.287 murid tidak menamatkan SD/SMP.

Ombudsman sering menjumpai praktik beban biaya tinggi dunia pendidikan.

Dalam tahun ajaran 2025/2026, pungutan atau sumbangan komite yang diwajibkan setiap sekolah bervariasi dari Rp 50.000 – Rp.150.000 per siswa setiap bulan. 

"Melebihi dana BOS. Biaya awal masuk kelas X bisa mencapai Rp 2,5 juta," kata Darius Beda Daton. 

DARIUS BEDA DATON - Darius Beda Daton, Kepala Ombudsman NTT.
DARIUS BEDA DATON - Darius Beda Daton, Kepala Ombudsman NTT. (POS-KUPANG.COM/ISTIMEWA)

Sementara itu, praktik diskriminatif pun masih terjadi di sekolah. Ombudsman NTT menemukan ujian sekolah ditunda atau ijazah ditahan karena tunggakan pungutan membatasi akses pendidikan bagi siswa tidak mampu.

Ombudsman NTT meminta ada perbaikan strategis dengan melakukan audit kebutuhan guru, mengurangi pungutan jika guru ASN/PPPK sudah dibiayai negara, menghapus insentif tambahan, dan mengurangi kegiatan non-esensial.

Darius Beda Daton mendorong setiap sekolah menerapkan Keputusan Kadis Pendidikan NTT No. 421/25/PK/2021, membedakan pungutan dan sumbangan, serta menyusun RKAS secara terbuka dan proposional. 

"Tegaskan Surat Edaran Kadis No. 421/1539/PK 2.2/2024 tentang siswa wajib ikut ujian tanpa syarat pungutan, ijazah tidak boleh ditahan dan menyerahkan ijazah yang masih ditahan dengan alasan belum melunasi uang komite dan biaya lainnya," tambah Darius Beda Daton.

Darius Beda Daton menyarankan langkah menuju pendidikan gratis. Darius Beda Daton meminta sekolah untuk hanya mengandalkan dana BOS, tanpa tambahan pungutan dari orang tua/wali siswa.

Cerminan itu, menurut Darius Beda Daton, sudah dilakukan  SMK Negeri Kolbano dan SMAN 2 Kupang Barat. Kedua sekolah ini berhasil menerapkan pendidikan gratis, menjadi teladan bagi sekolah lain.

Sekolah lainnya yang akan mengikuti adalah  SMA Negeri Borong mulai pada tahun ajaran 2025/2026. Untuk itu, Darius Beda Daton menegaskan tahun ajaran kali ini harus menjadi ponakan perubahan menyeluruh. 

"Jadikan tahun pelajaran 2025/2026 momentum perubahan sistemik untuk pendidikan inklusif, adil, dan bebas pungutan di NTT," kata Darius Beda Daton

Bila ini bisa dilakukan maka, akses dan partisipasi pendidikan di semua jenjang lebih meningkat. Langkah ini juga turut memastikan anak bisa mengakses pendidikan. 

Dampak baik lainnya adalah pengurangan angka anak tidak sekolah atau ATS sehingga masa depan anak-anak NTT lebih baik.

Sekolah gratis itu pun bisa menciptakan rasa keadilan dan menghilangkan hambatan finansial dari keluarga miskin untuk mendapatkan pendidikan. 

Hal ini juga, ujar Darius Beda Daton, akan meningkatkan layanan publik khususnya sektor pendidikan sekaligus menjamin masa depan generasi masa depan yang cerah. 

Darius Beda Daton berharap, Pemerintah Daerah, DPRD, dan satuan pendidikan diharapkan dapat mewujudkan pendidikan yang murah atau gratis secara bertahap. 

"Mari jadikan tahun pelajaran 2025/2026 sebagai momentum perubahan sistemik untuk pendidikan yang inklusif, adil, dan bebas pungutan di NTT. Bersama, kita bisa membangun masa depan pendidikan yang cerah dan mewujudkan 'NTT Cerdas'," kata Darius Beda Daton. (fan) 

Dr. Marsel Robot, Dosen FKIP Undana : NTT Alami Kemunduran 

Angka putus sekolah itu disebabkan lemahnya ekonomi keluarga. Di samping peran Pemerintah yang sangat minim.

Akar persoalannya itu ekonomi, dalam pengalaman survei ada temuan orang tua yang menyekolahkan anaknya membutuhkan banyak biaya saat pendaftaran siswa baru. 

Bila satu keluarga dengan tiga orang anak harus masuk pada jenjang pendidikan berbeda, maka orang tua dari keluarga harus menyediakan biaya tinggi untuk memenuhi berbagai perlengkapan sekolah. 

Sementara penghasilan keluarga itu jauh di bawah rata-rata. Alhasil, satu atau dua dari tiga anak itu terpaksa menunda melanjutkan pendidikan. Pemerintah harusnya hadir dalam dilematis warga ini. 

Mungkin bukan sekolah gratis. Tetapi paling penting ketika tahun ajaran baru di mulai, intervensi bantuan saat itu. Sepatu, seragam, karena seragam SMP tidak pakai lagi untuk di SMA jadi beli baru. 

Pergantian jenjang pendidikan adalah bagian paling penting untuk diurai. Kebanyakan kesulitan orang tua saat seperti ini pun sama dengan ketika anak-anak hendak melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi. 

Pemerintah perlu jeli menelisik tentang hal ini. Apalagi persoalan pendidikan adalah kewajiban negara untuk mengurusi. Tidak saja kuantitas, kualitas pendidikan pun harus disusun dengan baik. 

Kebanyakan Negara maju, didasarkan pada aspek pendidikan yang berperan penting. Sebaliknya, suatu daerah atau negara bakal kesulitan bergerak maju jika pendidikan penduduknya tidak terpenuhi dengan baik 
Kalau masyarakat kita seperti ini, kita bukan saja sedang berjalan di tempat. Kita sedang mengalami kemunduran yang luar biasa. 

Saya setuju dengan Ombudsman NTT untuk membantu agar pendidikan murah bahkan gratis bisa diterapkan di Provinsi ini. Tambahan biaya yang sering dialami orang tua saat pendaftaran siswa adalah beban. 

Karena, sistem semacam itu justru ikut menggerus semangat suatu keluarga atau anak-anak untuk mengenyam pendidikan. Jenis pungutan atau sumbangan apapun dari sekolah hendaknya dihapus. 

Agar membentengi itu, perlu ada regulasi yang mempertegas larangan pungutan atau sumbangan. Imbauan saja tidak cukup. Dengan begitu, aturan yang akan menindak para pelanggar. Sebab kalau tidak maka pasti ada yang tidak sekolah. 

AKADEMISI - Akademisi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Nusa Cendana (Undana) Dr Marsel Robot.
AKADEMISI - Akademisi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Nusa Cendana (Undana) Dr Marsel Robot. (POS-KUPANG.COM/HO)

Sisi lain, Pemerintah juga perlu menelusuri lebih dalam alasan sumbangan itu dilakukan. Bila dihapus maka, Pemerintah harus mengintervensi kebijakan untuk pemenuhan. Apalagi, sarana prasarana sekolah di NTT pun banyak yang belum memenuhi syarat kelayakan. 

Selain itu, saya menyarankan agar pengguna dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) hendaknya bisa mengakomodasi berbagai kebutuhan siswa hingga sekolah. Sekalipun ada petunjuk teknis yang dikeluarkan. 

Dengan dana BOS yang diberikan ke sekolah bisa memenuhi berbagai kebutuhan. Saya menyarankan Ombudsman NTT atau pihak terkait agar menelaah aturan penggunaan dana BOS. 

Untuk menanggulangi berbagai pungutan atau kebutuhan lainnya. Itu bagus. Daripada dana BOS itu kita tidak tahu kepentingannya apa saja. Pungutan apa saja, yang bisa disanggupi dana BOS itu, boleh menurut saya.

Sejauh tidak mempunyai konsekuensi yuridis bagi teman-teman kepala sekolah, bendahara atau guru. 

Selama ini penggunaan dana BOS sangat rawan dikorupsi. Anjuran dari Ombudsman NTT itu, baginya merupakan langkah yang baik. Terutama meniru beberapa sekolah di NTT yang meniadakan pungutan dan justru menggunakan dana BOS secara optimal. (fan) 

Ikuti Berita POS-KUPANG.COM lainnya di GOOGLE NEWS

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved