Opini
Opini: Sudahkah Indonesia menjadi Rumah Aman Bagi Semua Agama?
Kejadian tersebut terjadi ketika rombongan pelajar yang berusia 10 hingga 14 tahun bersama pendamping mereka sementara mengadakan kegiatan retret.
Bung Karno menyadari akan pentingnya kebebasan mengekspresikan kegiatan keagamaan bagi siapa saja tanpa adanya kekrasan terhadap yang lain.
Hanya saja Indonesia oleh segelintir orang tidak menghiraukannya. Agama justru dijadikan sebagai persaingan antara komunitas sosial di tengah masyarakat.
Sesungguhnya kita patut bersyukur bahwa tidak ada satu bangsa pun di dunia ini yang memiliki latar belakang keagamaan yang kompleks seperti Indonesia. Indonesia merupakan negara heterogen, plural dan majemuk.
Misalnya saja dalam hal agama, di Indonesia diakui terdapat enam agama negara yakni Islam, Kristen, Katolik, Budha, dan Konghucu.
Agama memainkan peranan penting dalam menjaga etika dan moralitas bangsa. Agama mengajarkan nilai-nilai kebaikan.
Sayangnya pluralisme agama di negara kita tidak menjamin tindakan seseorang terhadap yang lain.
Banyak kejadian destruktif dari relasi antarumat beragama di Indonesia seperti kasus Sukabumi di atas.
Lantas apa penyebab sikap intoleransi antarumat beragama di Indonesia?
Prinsip Mayoritas dan Minoritas di Indonesia
Patut diakui bahwa fenomena konflik sosial di tengah masyarakat agama pluralistis disebabkan oleh pemahaman yang keliru akan prinsip mayoritas dan minoritas golongan agama.
Prinsip mayoritas dalam agama pertama-tama dipahami sebagai kelompok pemeluk agama tertentu dalam jumlah yang banyak dibandingkan dengan kelompok lain.
Dalam hal ini mayoritas umat muslim. Sedangkan minoritas itu mewakili kelompok pemeluk agama tertentu dalam jumlah yang lebih sedikit dibandingkan kelompok mayoritas. Minoritas itu seperti umat Kristen, Budha dan seterusnya.
Lebih dalam pemahaman yang salah akan kedua prinsip itu tampak di dalam tiga poin berikut.
Pertama, agama mayoritas dijadikan sebagai dasar ideologi suatu bangsa. Dalam konteks ini ajaran dan identitas agama mayoritas sering dianggap sebagai identitas nasional yang mutlak.
Jika suatu kelompok masyarakat beragama islam, misalnya maka simbol-simbol keislaman diterima sebagai simbol negara sementara ekspresi agama lain — keberadaan gereja/rumah retret, pura, vihara—dianggap mengganggu harmoni masyarakat setempat.
Persis masalah intoleransi di Cidahu mengafirmasi pandangan tersebut. Masyarakat merasa terganggu dengan keberadaan rumah retret apalagi kegiatan keagamaan Kristen yang dianggap “berlawanan” dengan mereka.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.