Opini
Opini: Saat Cancel Culture Menguji Mimbar Kebebasan
"Cancel Culture" adalah cermin retak yang memantulkan kompleksitas interaksi kita di jagat maya, sekaligus menguji fondasi salah satu pilar demokrasi.
Topik-topik yang rumit, yang butuh pemahaman mendalam dan nuansa, seringkali disederhanakan menjadi biner—hitam atau putih—demi kepentingan polarisasi.
Di panggung ini, emosi dan kemarahan seringkali memimpin, menenggelamkan rasionalitas dan analisis mendalam.
Ketika setiap kesalahan dianggap dosa tak terampuni, dan setiap perbedaan pendapat dianggap serangan pribadi, kita kehilangan kemampuan untuk berdialog konstruktif tentang isu-isu yang sebenarnya memerlukan akal sehat dan empati.
Menemukan Harmoni di Antara Dentuman dan Bisikan Digital
Jadi, bagaimana kita menavigasi labirin kompleks ini? Bagaimana kita menemukan melodi yang harmonis antara tuntutan akuntabilitas dan jaminan kebebasan berpendapat?
Kuncinya terletak pada kearifan digital dan etika komunikasi yang kokoh. Kita harus melatih diri menjadi "detektif" informasi, memeriksa fakta dari berbagai sumber, dan memahami konteks sebelum kita ikut melemparkan "batu" di keramaian daring.
Kita harus belajar membedakan antara "racun" ujaran kebencian (yang memang harus dibasmi) dan "madu" perbedaan pandangan (yang harusnya justru dirayakan).
Platform media sosial, sebagai "penjaga panggung," juga punya tanggung jawab besar.
Mereka harus berinvestasi pada moderasi konten yang lebih cerdas dan transparan, serta menciptakan mekanisme yang mendorong diskusi, bukan persekusi.
Algoritma mereka tak boleh lagi hanya mengejar viralitas, melainkan harus diarahkan untuk memupuk dialog yang sehat dan beragam.
Sebagai individu, kita juga perlu merefleksikan diri. Apakah tujuan kita adalah menghukum dan mempermalukan secara permanen, atau mendorong pertanggungjawaban, edukasi, dan kesempatan untuk berubah?
Masyarakat yang sehat adalah masyarakat yang memberi ruang bagi individu yang tersandung, belajar dari kesalahannya, dan bangkit lagi.
Jika setiap kekeliruan, sekecil apa pun, berujung pada kehancuran total, maka kita berisiko menciptakan masyarakat yang lumpuh karena ketakutan, di mana kreativitas dan keberanian intelektual akan layu.
Di Indonesia, seperti di setiap sudut panggung dunia, kita menyaksikan bagaimana "Cancel Culture" bisa memengaruhi tokoh nasional hingga lokal, dinamika komunitas, atau bahkan hiruk pikuk politik.
Penting bagi kita untuk membangun budaya komunikasi yang menjunjung tinggi akuntabilitas, tetapi juga melindungi hak setiap suara untuk berpendapat tanpa takut dibungkam secara tidak adil.
Kebebasan berpendapat tak berarti bebas dari kritik, tapi kritik itu sendiri haruslah konstruktif, membuka jalan bagi dialog, bukan sekadar menghakimi dan membinasakan. (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.