Opini

Opini: Saat Cancel Culture Menguji Mimbar Kebebasan

"Cancel Culture" adalah cermin retak yang memantulkan kompleksitas interaksi kita di jagat maya, sekaligus menguji fondasi salah satu pilar demokrasi.

|
Editor: Dion DB Putra
FREEPIK
ILUSTRASI 

Skenarionya berulang: selebriti yang masa lalunya kelam terkuak, politisi yang ingkar janji diarak di linimasa, perusahaan yang berselimut praktik kotor tiba-tiba disorot lampu sorot. 

Dalam setiap kasus, gelombang "cancel" memaksa mereka untuk berlutut, mengakui kesalahan, meminta maaf di hadapan publik, dan menanggung konsekuensi pahit. 

Dari sudut pandang ini, "Cancel Culture" adalah cambuk yang mendidik, memaksa para penghuni panggung untuk lebih berhati-hati, lebih etis, dan lebih bertanggung jawab, membangun panggung yang lebih adil dan responsif.

Bayangan "Penyensoran Massal" di Balik Janji Akuntabilitas

Namun, di balik janji akuntabilitas itu, tersembunyi bayangan pekat yang mengancam napas kebebasan berpendapat. Salah satu yang paling menakutkan adalah "efek dingin" (chilling effect). 

Bayangkan seorang seniman yang ingin melukis tema kontroversial, seorang ilmuwan yang ingin mengemukakan hipotesis tak populer, atau seorang warga biasa yang punya kritik tajam. 

Ketakutan akan "dibungkam" oleh badai "cancel" bisa membekukan jemari mereka, membisukan lidah mereka. 

Jika setiap perbedaan pandangan dianggap sebagai "ancaman" yang berpotensi menghancurkan karier, maka panggung diskusi publik akan menyusut, hanya menyisakan tepuk tangan untuk ide-ide "aman" dan selaras. 

Ini adalah racun bagi masyarakat demokratis, yang hidup dari pertukaran gagasan yang bebas dan berani.

Masalah mendasar lainnya adalah ketiadaan proses peradilan yang adil. "Mahkamah" di media sosial beroperasi tanpa hakim, tanpa juri yang netral, dan tanpa hak pembelaan yang setara. 

Informasi bisa saja dicomot, dipelintir, atau dicabut dari konteksnya, hanya untuk memicu amarah massa. 

Sebuah tulisan lama yang tak lagi mencerminkan pandangan seseorang saat ini bisa digali kembali sebagai "senjata" pemusnah reputasi. 

Proses ini, layaknya "pengadilan rakyat" di alun-alun digital, tak memberi ruang bagi individu untuk menjelaskan, menyesal, atau bahkan menunjukkan bahwa mereka telah bertransformasi. Dan hukuman yang dijatuhkan? 

Seringkali tak sebanding. Sebuah karier yang dibangun dengan cucuran keringat puluhan tahun bisa hancur dalam semalam hanya karena satu cuitan yang blunder.

Lebih jauh, "Cancel Culture" cenderung meratakan kompleksitas diskusi. 

Halaman
123
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved