Opini

Opini: Saat Cancel Culture Menguji Mimbar Kebebasan

"Cancel Culture" adalah cermin retak yang memantulkan kompleksitas interaksi kita di jagat maya, sekaligus menguji fondasi salah satu pilar demokrasi.

|
Editor: Dion DB Putra
FREEPIK
ILUSTRASI 

Oleh:  Abner Paulus Raya Midara Sanga
Tinggal di Kota Kupang

POS-KUPANG.COM - Bayangkan sebuah panggung raksasa, terbentang luas tanpa batas, di mana setiap orang bisa berteriak, berbisik, atau bersenandung. 

Inilah dunia digital kita, tempat suara-suara berlipat ganda, dan gema menyebar secepat kilat. 

Namun, di tengah gemuruh itu, muncul sebuah fenomena yang bukan sekadar gema, melainkan dentuman palu yang menggema: "Cancel Culture". 

Ini bukan lagi istilah asing; ia adalah "hukum rimba" baru di alam maya, di mana sebuah kalimat melenceng atau tindakan masa lalu bisa memicu badai boikot massal, mengikis reputasi, memutus tali pekerjaan, dan membungkam suara di atas panggung itu.

"Cancel Culture" adalah cermin retak yang memantulkan kompleksitas interaksi kita di jagat maya, sekaligus menguji fondasi salah satu pilar demokrasi: kebebasan berpendapat. 

Apakah ia adalah pedang keadilan yang baru, atau justru tirai besi yang menelan perbedaan?

Ketika Ribuan Jempol Menjelma Palu Akuntabilitas

Dahulu kala, para "raja" panggung publik—selebriti, politisi, korporat kakap - seringkali seolah diselimuti jubah kebal. 

Mereka bisa saja melontarkan bisikan kebencian, menyebarkan racun kebohongan, atau berdansa di atas etika tanpa banyak goresan. Kekuasaan adalah perisai mereka. Tapi kini perisai itu berlubang. 

Media sosial telah meruntuhkan menara gading kekebalan, mengubah setiap gawai menjadi "mikrofon" dan setiap jempol menjadi "palu" yang siap mengetuk.

Dalam narasi ini, "Cancel Culture" adalah revolusi bisikan. Ia adalah kekuatan kolektif dari mereka yang sebelumnya terbungkam, kini memiliki megafon di genggaman. 

Ketika sepotong komentar rasis, seksis, atau ujaran kebencian lainnya terkuak dari bibir figur publik, jutaan pasang mata dan ribuan jempol bersatu. 

Tagar menjadi seruan perang, kampanye daring menjadi gerakan gelombang, menuntut pertanggungjawaban. 

Ini adalah demokrasi yang bergejolak, di mana masyarakat sipil secara efektif menjadi "penjaga gerbang" moralitas panggung.

Halaman
123
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved