Opini

Opini: Narsisme Digital Penyebab Depresi yang Agresif

Perasaan menjadi autentik merobek tirai kerahasiaan dan privasi, kemudian mengarah pada transparansi dan ketelanjangan total. 

Editor: Dion DB Putra
DOK PRIBADI
Melki Deni, S. Fil 

Ketertarikan narsistik untuk menjadi autentik menghilangkan representasi kolektif atau ritual apapun: autentisitas narsistik harus terjadi, di atas segalanya, secara individual. 

Byung-Chul Han (2020, 14) menjelaskan, “Kata produksi berasal dari bahasa Latin producere yang berarti memamerkan atau membuat terlihat. […] saat ini kita memberi suara di mana-mana […] setiap orang memproduksi sendiri, memberi suara untuk menarik lebih banyak perhatian”.

Produksi diri subjek narsis didukung secara ketat oleh kebutuhan untuk menjadi seseorang yang ... lebih dari sebelumnya, dan menjadi ... yang lain dari yang lain, untuk mengomunikasikan keasliannya. 

Subjek narsis membutuhkan persetujuan dan  pengakuan. Kesalingan setimpal dalam persetujuan dan pengakuan mempertahankan narsisme kontemporer, yaitu: 

Saya bisa mengakui kehadiran orang lain tetapi mereka terlebih dahulu mengakui dan memuji saya sebagai yang ... lain dari mereka, dan makhluk teristimewa. Subjek narsis berkembang pesat dengan relasi sentimental narsistik timbal balik ini.

Byung-Chul Han (2019, 143-144) menerangkan bahwa “Saat ini kita hanya peduli dengan ego. 

Semua orang ingin menjadi ada yang, diperhatikan, semua orang ingin menjadi autentik, berbeda dari yang lain […] 

Saat ini kita memiliki banyak hal untuk dikatakan, banyak hal untuk dikomunikasikan, karena kita adalah ada yang.”

Sekarang kita harus bertanya pada diri sendiri: Bagaimana kita dapat menyelamatkan diri dari narsisme yang tampaknya diakui sebagai yang lumrah, wajar? Apa konsekuensi dari dunia yang narsistik hingga ke titik kelelahan?

Dalam bukunya La sociedad del cansancio, Byung-Chul Han memulai kalimatnya begini: “Setiap zaman punya penyakit yang menjadi ciri khasnya.” 

Menurutnya, era saat ini ditandai dengan sikap positif yang total, sehingga penyakit “neuronal” baru merupakan hasil dari sikap positif yang berlebihan. 

Beginilah cara Byung-Chul Han menyampaikan “kekerasan positif”, di mana seseorang “mengarahkan agresi terhadap dirinya sendiri”.

Meningkatnya positivitas mengarah pada eksploitasi diri—autoeksploitasi—bahkan sampai melukai diri dan bunuh diri. 

Penyakit-penyakit ini, terutama, merupakan penyakit yang berasal dari tatanan narsistik dan ditandai oleh kekuatan kata kerja modal. 

Kekuatan untuk melakukan kinerja neoliberal menghasilkan lebih banyak paksaan daripada kewajiban dalam masyarakat disiplin ala Michel Foucault.

Halaman
1234
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved