Opini

Opini: Narsisme Digital Penyebab Depresi yang Agresif

Perasaan menjadi autentik merobek tirai kerahasiaan dan privasi, kemudian mengarah pada transparansi dan ketelanjangan total. 

Editor: Dion DB Putra
DOK PRIBADI
Melki Deni, S. Fil 

Kepositifan ini terungkap pada tingkat subjektif, pertama, sebagai eksploitasi diri atas nama kinerja dan optimalisasi diri sendiri. Subjek mengeksploitasi dirinya sendiri dalam pengoptimalannya sendiri. 

Euforia untuk terus-menerus mengoptimalkan dan memproduksi diri sendiri mengarah pada kelelahan, yaitu ke kondisi patologis di mana menjadi bugar dan terarah pada relasi yang agresif dengan diri sendiri.

Bagi Byung-Chul Han (2020, 14): “Subjek narsistik yang melakukan kinerja akhirnya hancur karena akumulasi libido ego yang fatal. 

Ia dengan sukarela dan penuh semangat mengeksploitasi dirinya sendiri, hingga ia hancur. Ia membunuh dirinya sendiri dengan mengoptimalkan dirinya sendiri”.

Seorang narsis adalah dia yang hanya tertarik pada dirinya sendiri; segala hal lain tampak sebagai gangguan. Dalam optimismenya, seorang narsis tidak peduli dengan orang lain. 

Kepentingan diri yang meningkat ini menciptakan penyakit positif, yang disebut Byung-Chul Han sebagai depresi. 

Bagi Byung-Chul Han (2014, 66), “Depresi, di atas segalanya, adalah penyakit narsistik. Hubungan yang berlebihan dan patologis dengan diri sendiri menyebabkan depresi”.

Narsisme adalah sejenis agresi diri yang tak pelak lagi berujung pada depresi. Akan tetapi, keberbedaanlah yang menyelamatkan narsis dari depresinya, dari kelelahan menjadi dirinya sendiri sebagai keaslian dan pengoptimalan. 

Keberbedaan menimbulkan kelupaan diri yang pada hakikatnya bersifat penebusan.

Hilangnya ritual juga dapat diartikan sebagai hilangnya penebusan. Komunitas dan narsisme; penebusan dan depresi merupakan contoh-contoh yang secara ontologis bertentangan. 

Karena itu, Byung-Chul Han (2020, 15) menggarisbawahi, “Depresi didasarkan pada referensi hiperbolik terhadap diri sendiri […] ritual, sebaliknya, membebaskan diri dari beban dirinya sendiri. Mereka mengosongkan diri dari psikologi dan interioritas”.

Tak dapat diragukan lagi, media sosial didedikasikan untuk memaksimalkan narsisme. Hal ini telah ditempatkan pada layanan diri sendiri. 

Bahkan tujuan yang dikejar oleh pengguna TikTok: untuk mengekspos rumah, kehidupan, dan keluarga agar menjadi viral. 

Menjadi viral merupakan kredo fundamental dari seorang narsis. Itulah alasan mengapa ia sengaja mengekspos dirinya di media sosial secara transparan dan telanjang total.

Di sini dapat dikatakan bahwa komunikasi digital pada dasarnya meruapak narsistik, karena ia memuji diri sendiri dengan menarik semua konten terkini dari pengguna yang ingin viral dan terkenal.

Halaman
1234
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved