Opini

Opini: Narsisme Digital Penyebab Depresi yang Agresif

Perasaan menjadi autentik merobek tirai kerahasiaan dan privasi, kemudian mengarah pada transparansi dan ketelanjangan total. 

Editor: Dion DB Putra
DOK PRIBADI
Melki Deni, S. Fil 

Oleh: Melki Deni, S. Fil.
Almunus Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero, NTT, dan sedang belajar teologi di Universidad Pontificia Comillas, Madrid, Spanyol

POS-KUPANG.COM - Dunia teknologi modern dengan pelbagai perangkat digital dan kecerdasan buatannya membantu mempercepat narsisme.

“Seseorang memuja diri sendiri”, mendakukan semua, menjadikan diri sendiri sebagai sumber satu-satunya, mengabaikan dan apatis terhadap yang lain. 

Subjek narsis adalah makhluk dari rezim neoliberal, yang dalam tindakannya mengindividualisasikan diri mendapat ruang bebas yang tak terbatas.

Dari narsisme kontemporer ini timbul gairah seseorang untuk menjadi yang autentik. Keautentikan adalah dorongan paling fundamental bagi narsisme untuk memamerkan diri. 

Perasaan menjadi autentik merobek tirai kerahasiaan dan privasi, kemudian mengarah pada transparansi dan ketelanjangan total. 

Narsistik merupakan makhluk yang tembus pandang; ia membuat hidupnya transparan, dan sejauh mungkin dilihat oleh semua orang.

Subjek narsis tanpa lelah mengekspos dirinya sendiri secara sukarela. Ia begitu menderita apabila tidak ada yang melihat, berkomentar, memuji, dan menertawakan penampilannya.

Perasaan menjadi autentik memaksanya untuk secara sukarela menelanjangi dirinya sendiri. Byung-Chul Han (2020, 17) mengatakan, “Tekanan untuk menjadi autentik mengarah pada introspeksi narsistik.  Ia terus-menerus menyibukkan diri dengan psikologi sendiri. Masyarakat yang autentik adalah masyarakat yang intim dan telanjang.”

Keaslian narsistik selalu mengandaikan mengabaikan kehadiran yang lain. Keberbedaan sedang sekarat karena munculnya narsisme

Di era yang pada dasarnya narsistik, keberbedaan telah sepenuhnya ditinggalkan dan disingkirkan. 

Narsisme dan kepentingan diri sendiri yang terus-menerus membuat seseorang buta terhadap kehadiran yang lain.

Yang lain adalah “dia”, “mereka” atau “beliau” yang hadir dari kejauhan, yang tidak diakui kehadirannya di sini kini, dan yang tidak layak mendapatkan penghargaan dari si narsistik

Narsisme secara definitif mengakhiri keberbedaan dan nilai-nilai kolektif seperti empati dan solidaritas. 

Dalam kata-kata Byung-Chul Han (2017, 9), “Tersingkirnya pihak lain yang terjadi di semua aspek kehidupan terkait dengan narsisme yang berlebihan terhadap diri sendiri.”

Halaman
1234
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved