Opini
Opini : Co-Management untuk Geothermal Flores, Mungkinkah?
Peraturan Pemerintah khusus tentang Co-Management Geothermal dengan Masyarakat Adat diperlukan untuk memberikan pedoman.
Apakah regulasi kita memungkinkan untuk itu? Mari kita lihat.
Implementasi co-management model Tuaropaki Trust milik New Zealand di Flores memerlukan reformasi kebijakan yang mengintegrasikan nilai-nilai budaya lokal dalam kerangka penilaian proyek, menciptakan mekanisme sharing yang adil, dan membangun kapasitas lokal untuk pengelolaan teknologi geothermal.
Dengan demikian, geothermal tidak lagi menjadi eksploitasi sumber daya, melainkan instrumen pemberdayaan ekonomi yang berkelanjutan bagi masyarakat Flores.
Beberapa regulasi memberikan fondasi yang memadai untuk penerapan co-management, namun terdapat kesenjangan signifikan antara kerangka hukum yang ada dengan kebutuhan implementasi co-management yang efektif.
Sejauh mana regulasi di Indonesia dapat mengakomodasi model partisipatif yang memberikan kontrol langsung kepada masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya geothermal, terutama di Flores?
Kerangka regulasi Indonesia sebenarnya telah menyediakan beberapa instrumen hukum yang dapat mendukung implementasi co-management, meskipun dengan keterbatasan yang signifikan.
UU No. 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi menjadi regulasi utama yang mengatur penyelenggaraan dan pengusahaan panas bumi, termasuk aspek peran serta masyarakat.
Namun, konsep "peran serta masyarakat" dalam undang-undang ini masih berkutat pada level konsultasi dan sosialisasi, belum mencapai tingkat co-ownership atau co-management seperti yang dipraktikkan di New Zealand melalui model Tuaropaki Trust.
Sementara itu, UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa memberikan pengakuan yang lebih kuat terhadap hak-hak masyarakat adat. Undang-undang ini secara eksplisit mengakui desa adat dengan kewenangan pengaturan dan pengurusan ulayat atau wilayah adat, penyelesaian sengketa adat berdasarkan hukum adat, dan pengembangan kehidupan hukum adat sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat desa adat.
Pengakuan ini memberikan basis hukum yang kuat untuk melibatkan masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam di wilayah mereka, termasuk geothermal.
Tantangan Struktural dan Agenda Reformasi Regulasi
Meskipun terdapat fondasi yang mendukung, implementasi co-management menghadapi tantangan struktural yang kompleks. Keterbatasan skema kepemilikan menjadi hambatan utama. Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2021 mempertegas bahwa pengusahaan panas bumi harus memiliki Izin Panas Bumi (IPB) dan dilakukan oleh pemegang IPB.
Regulasi ini belum mengakomodasi skema kepemilikan bersama atau trust model seperti yang berhasil diterapkan di New Zealand. Hal yang paling mendasar adalah belum adanya framework khusus untuk co-management antara pemerintah, swasta, dan masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam.
Regulasi di Indonesia saat ini masih menggunakan paradigma top-down yang menempatkan negara sebagai pemilik tunggal sumber daya alam, berbeda dengan model co-management yang mengakui hak-hak kolektif masyarakat adat.
Implementasi co-management yang efektif memerlukan reformasi regulasi yang komprehensif dan bertahap. Revisi UU No. 21 Tahun 2014 menjadi prioritas utama dengan menambahkan pasal khusus tentang co-management dengan masyarakat ada dana tau masyarakat lokal, mengatur skema kepemilikan bersama atau trust model, dan memberikan mekanisme partisipasi aktif masyarakat dalam pengambilan keputusan strategis.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.