Opini

Opini : Co-Management untuk Geothermal Flores, Mungkinkah?

Peraturan Pemerintah khusus tentang Co-Management Geothermal dengan Masyarakat Adat diperlukan untuk memberikan pedoman.

Editor: Alfons Nedabang
POS-KUPANG.COM/HO
GEOTHERMAL - Foto ilustrasi. Salah satu proyek panas bumi di Sokoria, Kabupaten Ende, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. 

Oleh: Maria Dolorosa Bria, S.Pi., MEnv.Sc 
- Pengurus KoalaNTT (Komunitas Alumni Australia NTT)
- Bekerja di Bapelitbangda Rote Ndao

POS-KUPANG.COM - Flores, pulau dengan potensi geothermal 776 MW, seharusnya menjadi kunci transformasi energi nasional Indonesia. Namun faktanya, Flores telah menjadi arena paradoks pembangunan berkelanjutan di era modern. 

Di persimpangan antara target energi terbarukan nasional Tahun 2025 untuk mencapai 23 persen dan visi jangka panjang 70 % di 2045, pengembangan geothermal Flores menghadapi dilema multidimensional antara kepentingan nasional dan resistensi lokal yang mengakar kuat.

Bagaimana mengejar waktu yang berlomba dengan dampak perubahan iklim sambil menghadapi resistensi yang mengakar dalam - mulai dari petani yang mempertahankan sawah dan kebun hingga Uskup dan para Romo yang dari altarnya juga berusaha mempertahankan tanah warisan yang harus dijaga kesucian dan kelestariannya. 

Harus ada jalan tengah! Salah satunya, dengan mengadopsi model co-management pengelolaan geothermal dari New Zealand. Mengapa New Zealand?

Pengembangan dan pengelolaan geothermal di New Zealand menunjukkan model co-management yang unik dengan masyarakat Indigenous Māori, yang dapat menjadi contoh terbaik bagaimana mengintegrasikan hak-hak indigenous dengan pengembangan energi berkelanjutan.

Tuaropaki Trust, Contoh Co-Management Terbaik

Contoh paling sukses dari model co-management di New Zealand adalah Tuaropaki Trust yang mengelola Mokai Geothermal Power Plant. Tuarapaki Trust mengakui dan menerima Konsep Kaitiakitanga milik suku Māori  sebagai dasar co-management.

Konsep Kaitiakitanga secara sederhana digambarkan bahwa suku Maori menganggap diri mereka sebagai kaitiaki (guardians) dari sumber daya geothermal (waiwhatu), dengan rasa tanggung jawab budaya dan spiritual yang mendalam untuk memastikan perlindungan yang tepat.

Selama berabad-abad, suku Māori telah mengakui dan memanfaatkan energi geothermal alami untuk berbagai tujuan, menganggap area ini sebagai sumber penyembuhan, penghidupan, dan kekuatan

Konsep kaitiakitanga ini menjadi fondasi filosofis dalam model co-management, dimana masyarakat Māori tidak hanya menjadi penerima manfaat, tetapi juga pengelola aktif sumber daya geothermal.

Kelompok suku Māori memiliki rangatiratanga penuh (kontrol dan otoritas) atas tanah dan sumber daya mereka sebelum kedatangan Eropa di Aotearoa (New Zealand). Sebagai kaitiaki, mereka memiliki metode pengelolaan dan pengembangan sumber daya sendiri.

Model Tuaropaki Trust menunjukkan bahwa masyarakat indigenous (Maori) bukan hanya perlu "didengar" dalam konsultasi formal, tetapi harus "dilibatkan" sebagai mitra penuh dalam kepemilikan, pengelolaan, dan pengambilan keputusan strategis proyek geothermal. Pembangkit listrik Tuaropaki saat ini menghasilkan 113 MW listrik yang menjadi sumber listrik Kota Hamilton. 

Bisa kita lihat bagaimana co-management berbeda dengan pendekatan konvensional yang menempatkan masyarakat sebagai penerima manfaat pasif. Model co-management memberikan kontrol langsung kepada komunitas lokal atas sumber daya mereka.

Di Flores, ini berarti mengakui hak-hak adat masyarakat atas tanah dan sumber daya geothermal, serta menciptakan struktur kepemilikan yang memungkinkan partisipasi aktif dalam manajemen operasional.

Halaman
1234
Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved