Opini

Opini: Antara Surga yang Membuka dan Jalan yang Tak Juga Terbuka

“Jubah” dalam kisah ini bukan sekadar simbol kain tua yang diwariskan. Ia adalah simbol legitimasi dan kesiapan spiritual. 

Editor: Dion DB Putra
DOK PRIBADI
Pdt. John Mozes Hendrik Wadu Neru 

Oleh: John Mozes Hendrik Wadu Neru 
Pendeta GMIT, berkarya di Kabupaten Sabu Raijua - NTT

POS-KUPANG.COM - Tulisan ini merupakan refleksi kritis dan teologis atas situasi sosial, spiritual, dan politik di Nusa Tenggara Timur, khususnya dalam kaitan antara iman dan keadilan sosial. 

Dengan mengangkat tafsir naratif dari II Raja-Raja 2:1–18 dan peringatan Hari Lahir Pancasila, opini ini berusaha menunjukkan urgensi pewarisan nilai-nilai kenabian dalam kehidupan gereja dan masyarakat.

Membuka Langit yang Tertutup: Tafsir atas II Raja-Raja 2:1–18

Ada masa ketika langit tidak hanya berfungsi sebagai atap alam semesta, melainkan terbuka sebagai panggung peralihan besar: momen ketika Elia diangkat ke surga dalam badai, dan Elisa — sang penerus - tidak menangis atau mengabadikan momen dengan sorotan kamera, melainkan menuntut roh dua bagian. Bukan pusaka. Bukan jabatan. Tapi roh.

Tafsir ini bukan sekadar sentimentalitas perpisahan seorang nabi tua, melainkan pernyataan keras tentang transmisi kuasa, pewarisan tanggung jawab, dan kemampuan membedakan waktu ilahi. 

Elisa tidak menanti dengan pasrah, ia menanti dengan kesiapan rohani. Ia tahu, ketika badai datang, bukan waktunya berlindung tapi menjemput panggilan.

“Jubah” dalam kisah ini bukan sekadar simbol kain tua yang diwariskan. Ia adalah simbol legitimasi dan kesiapan spiritual. 

Dan menanti dengan setia bukan berarti diam di tepi sungai, tetapi bersiap untuk menyeberang—meski air masih tenang, dan langit belum bicara.

Maka pertanyaannya: jika Elia hari ini naik dari Pulau Sabu atau Gunung Mutis, siapakah Elisa

Ataukah negeri ini hanya penuh dengan lima puluh orang yang berseragam, sibuk mencari-cari tubuh, tapi tak mengerti makna kehadiran Roh?

Gereja dan Rakyat NTT

Di Nusa Tenggara Timur, kita menanti bukan saja Roh Kudus, tapi juga air bersih yang tak dijual dengan proposal, harga hasil tani yang tak terus dipermainkan kartel, keadilan bagi anak-anak yang tubuhnya dirobek oleh para pelindung yang melukai.

Dan ironisnya, kita tetap menyanyikan lagu tentang “Negeri Surgawi” sambil berdiri di lumpur birokrasi yang menyumbat saluran hidup sehari-hari.

“Menanti dengan setia” di sini bukan sekadar spiritualitas bertahan hidup, melainkan tindakan melawan lupa. Lupa bahwa janji konstitusi dan Injil sama-sama bicara soal keadilan. 

Halaman
1234
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved