Opini

Opini: Antara Surga yang Membuka dan Jalan yang Tak Juga Terbuka

“Jubah” dalam kisah ini bukan sekadar simbol kain tua yang diwariskan. Ia adalah simbol legitimasi dan kesiapan spiritual. 

Editor: Dion DB Putra
DOK PRIBADI
Pdt. John Mozes Hendrik Wadu Neru 

Bahwa Injil tidak pernah mewartakan keselamatan yang steril dari realitas sosial, dan Pancasila bukan sekadar hafalan upacara bendera.

Seperti kata Bung Hatta, “Indonesia merdeka bukan untuk jadi panggung permainan elite, tapi tempat rakyat mendapatkan harga diri.” 

Namun kini, rakyat harus menonton pejabat ber-selfie ria di lokasi bencana sambil menyalahkan cuaca dan membagi bantuan hanya untuk konten.

Bahkan ibadah pun kadang lebih sering jadi dekorasi protokoler ketimbang perjumpaan kudus. 

Di ruang-ruang seminar gerejawi, jubah kenabian kadang lebih sering dilelang dalam bentuk paket pelatihan, bukannya dipakai untuk memukul sungai realitas. 

Apakah kita Elisa? Atau justru hanya asisten akuntan kenabian, yang mencatat berapa banyak seminar dan pelatihan yang telah diikuti?

Dua Lidah Api, Satu Panggilan

Setiap tanggal 1 Juni, kita mengenang kelahiran Pancasila, lima sila yang seharusnya menjadi pancaran api moral bangsa ini. 

Namun, sila demi sila kini terdengar seperti gema di gedung kosong: nyaring, tapi hampa.

Seperti kata Soren Kierkegaard (filsuf dan teolog), "Faith sees best in the dark".  

Dan dalam kegelapan sosial kita hari ini—kekerasan terhadap perempuan, korupsi struktural, elitisme agama, dan pemiskinan yang dilembagakan —iman bukan sekadar suluh kecil, tapi seharusnya api yang membakar ketidakadilan.

Lidah api Roh Kudus dan sila Pancasila adalah simbol transformasi. Tapi nyala itu kini hanya cukup untuk penerangan panggung-panggung upacara dan baliho besar para pejabat. 

Kita lupa bahwa api tidak pernah dimaksudkan hanya untuk lampu sorot—ia harus membakar ketimpangan dan menyalakan keberanian.

“Ketuhanan yang Maha Esa” bukan hanya pengakuan lisan, tapi panggilan untuk menjadikan keadilan sebagai tindakan nyata. 

Jika kita mengaku bangsa yang menjunjung “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”, maka sikap membisu terhadap kekerasan seksual anak adalah penghinaan terhadap sila kedua.

Halaman
1234
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved