Opini

Opini: Antara Surga yang Membuka dan Jalan yang Tak Juga Terbuka

“Jubah” dalam kisah ini bukan sekadar simbol kain tua yang diwariskan. Ia adalah simbol legitimasi dan kesiapan spiritual. 

Editor: Dion DB Putra
DOK PRIBADI
Pdt. John Mozes Hendrik Wadu Neru 

Hamba yang Menanti

Dalam realitas NTT hari ini, “menanti dengan setia” bukanlah spiritualitas pasrah di atas tikar doa, melainkan keberanian berdiri di tanah retak yang menjerit - merawat harapan dan melawan apatisme dengan kerja konkret. 

Ia bukan sekadar harapan yang melayang ke langit, tetapi tubuh yang turun ke bumi—yang masuk ke ruang kelas tanpa guru, berdiri di pesisir yang robek oleh tambang pasir, dan menyaksikan anak-anak yang kehilangan tubuh dan martabatnya di ruang-ruang yang semestinya aman.

Masih ada sekolah-sekolah yang tiap pagi berdiri tanpa cukup guru, hanya ada papan tulis tua, murid-murid yang lebih banyak dari bangku, dan kepala sekolah yangrangkap jadi pengajar dan pemungut iuran.

Di tempat lain, pesisir-pesisir Sabu, Rote, dan Alor perlahan hilang ditelan abrasi dan keserakahan. 

Bukannya ditanami mangrove, ia digali untuk bahan bangunan hotel, yang katanya demi pariwisata rohani. Di mana suara gereja saat bumi tempat gereja berpijak justru disayat-sayat oleh investasi yang menipu?

Dan yang paling sunyi, namun paling menyayat: anak-anak perempuan dan laki-laki yang menjadi korban kekerasan seksual di sekolah, di rumah, bahkan di lingkungan yang menyebut diri “komunitas rohani.” Kita sering terlalu cepat mengampuni, terlalu lambat melindungi.

Apakah ini yang disebut menanti dengan setia? Atau sebenarnya kita sudah menyerah tanpa mengaku? 

Seperti dikatakan oleh Franz Magnis-Suseno, "Tanggung jawab moral bukanlah pilihan; ia adalah konsekuensi dari eksistensi bersama." 

Maka setiap langkah gereja yang memilih diam di hadapan kekerasan adalah pengkhianatan terhadap eksistensinya sendiri.

Elisa mengerti bahwa waktu transisi bukan waktu panik—melainkan waktu kesiapan.

Dalam sejarah bangsa pun, seperti kata Soekarno, "Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah. Perjuangan kalian lebih sulit karena melawan bangsa sendiri." 

Maka dalam transisi kekuasaan, dalam musim kampanye, dalam janji-janji pembangunan yang tak menyeberangi laut, siapa yang memegang jubah dan memukul sungai?

Menjadi Elisa: Gereja, Rakyat, dan Kuasa Roh

Puncak dari refleksi ini bukanlah pujian atas masa lalu atau kenangan indah kenabian. Tapi seruan: jadilah Elisa

Halaman
1234
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved