Opini

Opini: Kristus di Tengah Budaya, Menuju Inkulturasi yang Kristosentris dalam GMIT

Inisiatif ini lahir dari semangat untuk menjembatani Injil dan kebudayaan lokal melalui sebuah proses yang disebut inkulturasi. 

Editor: Dion DB Putra
DOK PRIBADI
Pdt. John Mozes Hendrik Wadu Neru 

Oleh: John Mozes Hendrik Wadu Neru 
Pendeta Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT), Ketua Klasis di Sabu Timur - NTT

POS-KUPANG.COM - Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) tengah menjalani sebuah ziarah teologis dan kultural penting melalui pelaksanaan Bulan Budaya yang telah berlangsung hampir satu dekade. 

Inisiatif ini lahir dari semangat untuk menjembatani Injil dan kebudayaan lokal melalui sebuah proses yang disebut inkulturasi. 

Namun, tidak sedikit suara yang mengkhawatirkan potensi sinkretisme dan tergerusnya nilai-nilai Injili dalam praktik ini.

Tulisan singkat ini bukan tanggapan terhadap individu atau institusi tertentu, melainkan sebuah refleksi pastoral yang bertujuan memperdalam pemahaman kita tentang inkulturasi yang sejati dalam terang Kristus, firman Allah yang menjadi manusia (Yohanes 1:14), dan dalam semangat keadilan, kasih, dan kerendahan hati sebagaimana dikumandangkan oleh Nabi Mikha (Mikha 6:8).

Inkulturasi: Antara Ketakutan dan Pengharapan

Inkulturasi bukanlah pencampuradukan sembarangan antara Injil dan budaya, tetapi upaya iman untuk mewujudkan pewartaan Kristus dalam simbol, bahasa, dan ekspresi yang dimengerti dan dihidupi umat. 

Inkulturasi lahir dari kesadaran bahwa Sabda Allah menjelma menjadi daging dan tinggal di antara kita (Yoh 1:14), bukan di ruang steril atau di luar budaya.

Yohanes Calvin, dalam Institutes of the Christian Religion (I.xiv.20), menegaskan bahwa ciptaan adalah cermin kemuliaan Allah. Dunia ini adalah theatrum gloriae Dei (panggung kemuliaan Allah). 

Karena itu, budaya—sebagai bagian dari ciptaan Allah—bukan sesuatu yang najis, melainkan wadah yang dapat dan harus disucikan demi kemuliaan-Nya. 

Calvin juga memperkenalkan konsep gratia communis (anugerah umum), yakni pemberian Allah yang memungkinkan seluruh umat manusia, termasuk dalam ekspresi budaya mereka, mengenal dan mempraktikkan nilai-nilai kebaikan.

Kristosentrisme: Pusat yang Tak Boleh Tergeser

Dalam setiap proses inkulturasi, pusatnya haruslah Kristus. Budaya bukan pusat ibadah; Kristuslah pusatnya. 

Namun, Kristus yang kita imani adalah Kristus yang menjelma dalam sejarah dan budaya manusia, bukan Kristus yang steril dari konteks.

Kristosentrisme bukan berarti menolak budaya, melainkan membiarkan Kristus menjadi terang yang menyaring, menafsir, dan menebus budaya. 

Halaman
123
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved