Human Interest Story

FEATURE: Malam Literasi di Simpang Lima Kopi, Buku, dan Semangat Berbagi di Lembata  

Suasana Taman Patung Anton Enga Tifaona di Simpang Lima Wangatoa, Lembata, berubah menjadi ruang literasi yang hangat pada Sabtu (26/4/2025) malam.

|
POS-KUPANG.COM/Ricko Wawo
LEMBATA - Suasana Taman Patung Anton Enga Tifaona di Simpang Lima Wangatoa, Lembata, berubah menjadi ruang literasi yang hangat pada Sabtu (26/4/2025) malam 

Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Richo Wawo

POS-KUPANG.COM, LEMBATA - Suasana Taman Patung Anton Enga Tifaona di Simpang Lima Wangatoa, Lembata, berubah menjadi ruang literasi yang hangat pada Sabtu (26/4/2025) malam.

Tiga pemuda, Ibnu Rifai, Acun Ratulela, dan Suaiban Rahim menggelar lapak baca dengan membawa ratusan buku dan karpet bekas. 

Sejak pukul 16.00 WITA, mereka mulai menggelar karpet dan menata buku-buku bertema sejarah, sastra sosial politik dan lainnya. Patung Anton Enga Tifaona seolah menjadi saksi bisu antusiasme puluhan pengunjung yang datang dan duduk melingkar silih berganti. 

Baca juga: LIPSUS: Tidak Ada Dokter Anastesi  Ibu dan Anak Meninggal  di IGD Tc Hilers Maumere 

Beberapa membaca dalam diam, sementara lainnya terlibat obrolan seru tentang isu lingkungan dan feminisme serta isu lainnya yang beririsan dengan dua isu utama itu. 

Aksi sederhana ini berawal dari keinginan mereka yang tergabung dalam Forum Pinggir Jalan (FPK) untuk menghidupkan tradisi membaca di ruang publik, sebuah tradisi yang sering mereka lakoni di kota tempat menimbah ilmu. 

MALAM LITERASI LEMBATA 1
LEMBATA - Suasana Taman Patung Anton Enga Tifaona di Simpang Lima Wangatoa, Lembata, berubah menjadi ruang literasi yang hangat pada Sabtu (26/4/2025) malam

Kepada wartawan, Acun Ratule mengatakan, selain sebagai hobby, alasan mendasar membuka lapak baca ini bermula dari penilaian FPJ bahwa  anak-anak dan anak muda di Lembata punya minat literasi yang masih kurang dibandingkan berselancar di media sosial. 

Dengan demikian, perlu ada gerakan untuk mengisi kekosongan ini. Kekosongan ini tentu menjadi tanggung jawab bersama, termasuk FPJ. 

“Tempat ini (Taman Patung Anton Enga Tifaona-red) kosong sehingga sebaiknya digunakan untuk hal yang lebih positif yaitu membuka lapak baca,” kata Acun. 

"Kami ingin buku-buku ini tidak hanya terpajang di rak, tapi dibaca sambil menikmati suasana kota,” sambung Acun. 

Baca juga: FEATURE: Mama Olla Warga NTT Kembangkan Pasaran Warisan Tenun NTT di Nunukan Barat 

Tak hanya menyediakan bacaan, mereka juga menjual kopi untuk pengunjung yang datang silih berganti sejak sore hingga larut malam. Katanya, hasil penjualan kopi dipakai untuk menopang kegiatan lapak baca ini. 

“Kopi juga jadi teman yang pas untuk membaca dan diskusi santai," ujar Ibnu Rifai, salah satu inisiator, sambil tersenyum.  

Salah satu pengunjung, Rosaliana Pude Domakin (Ocha Domaking) bercerita, sebelumnya ia sering membaca di kos atau kantornya saat waktu senggang. 

Membaca tentu memberikan banyak manfaat baginya. Di dunia yang sedang trend dengan scroll media sosial, membaca itu seperti membangun benteng. 

Baca juga: FEATURE: Dari Kemarahan Menjadi Kecintaan di Kalimantan, Mama Olla Menjaga Warisan Tenun NTT 

Membaca memberi ruang baginya untuk sedikit bernafas di antara banjir data di ruang digital. Selain itu, membaca sebagai proses healing saat Rosalina menghadapi tekanan sebagai generasi sandwich. 

Kata Ocha, “Mulailah dengan satu paragraf. Tapi bacalah seperti penyelam, bukan seperti orang yang tenggelam.”

Membaca di Ruang Publik

Suasana membaca di ruang publik tentu punya kesan tersendiri bagi Ocha. Menurutnya, membaca di kos adalah cara berinteraksi dengan diri sendiri. Sedangkan membaca di ruang publik adalah cara membangun mimpi bersama. 

“Ada kebersamaan, gemohing (gotong-royong-red), bertukar ide, hingga berbagi perspektif,” kata Ocha. 

Hingga pukul 23.00 WITA, lapak tetap ramai meski hawa dingin menusuk hingga ke tulang. Ratusan buku yang dibawa dari koleksi pribadi dan sumbangan komunitas, mulai tercecer. 

Malam itu, Taman Anton Enga Tifaona tidak hanya meninggalkan kenangan tentang kopi dan obrolan, tapi juga bukti bahwa literasi bisa tumbuh di ruang publik, asal ada kemauan untuk berbagi

Baca juga: FEATURE: Merayakan Maumere dalam Festival Maumerelogia 5

Acun Ratulela mengaku terkejut dengan respons pengunjung, "Ternyata minat baca masih ada. Literasi tidak mati di Lembata. Hanya saja butuh ruang yang aman dan nyaman serta akses yang mudah."  

Inisiatif ini rencananya akan diadakan rutin tiga hari dalam seminggu yaitu Jumad, Sabtu dan Minggu. Jika luang, mereka akan menambah hari.  

Namun, niat baik tak selalu berjalan mulus. Kata Ibnu Rifai, ada tantangan yang dihadapi oleh FPJ.

Saat ini, buku bacaan untuk anak-anak terbilang kurang. Sedangkan pengunjung anak-anak cukup banyak. 

“Banyak juga yang berpikir kami menjual buku atau membaca di sini berbayar. Baca tetap gratis. Hanya kopi yang berbayar,” jelas Rifai. 

Baca juga: LIPSUS: Anggaran Rp 30 M, Renovasi Sekolah Amburadul  Temuan Tim Bengkel APPeK NTT

Penerangan di Taman Anton Enga Tifaona juga tidak ada. FJP mengusahakan satu buah lampu yang arus listriknya diambil dari rumah samping taman tersebut. 

Hal lainnya, kata Rifai, taman itu masih sering dilalui oleh kendaraan roda dua dan empat. Tentu hal ini sangat mengganggu aktivitas anak-anak di ruang publik ini.

“Yang paling urgen saat ini adalah bagaimana kami perlu membangun mekanisme keamanan bagi perempuan dan anak di lapak baca ini. Terutama bagi anak-anak. Kami sedang mengupayakannya,” tutup Rifai. 

Lapak baca yang diinisiasi oleh FPG ini sudah berjalan sejak tahun 2024. Namun musim hujan sempat menghentikan aktivitas ini. (richo wawo)

 

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved