Opini
Opini: Sastra dan Panggilan Keberpihakan
Hanya satu kata yang ditujukan bagi kekuasaan yang acapkali diselewengkan dan berlaku tidak adil, yakni “lawan!”
Seseorang mengandung dalam dirinya rasa akan kebersamaan dengan orang lain. Ia menjadi humanis bila tercemplung dalam ruang publik.
Dengan bahasa lain, seseorang tidak boleh nyaman dengan menara gading diri sendiri. Ia mesti terlibat dalam komunalitas manusia. Sebab, kebutuhan akan “yang lain” merupakan hakikat dasariah setiap manusia.
Apalagi, di tengah penderitaan sesama, keterpanggilan setiap orang untuk berbela rasa dan berpihak merupakan basis etis yang tak terbantahkan.
Mengenai hal “keterpanggilan akan yang lain” ini, Budi Hardiman menegaskan, “seseorang disebut ‘humanis’ jika ia berjuang untuk menilai, melawan, atau mencegah suatu perbuatan atau peristiwa yang di dalamnya manusia atau kemanusiaan dilecehkan, ditindas, atau diabaikan” (F. Budi Hardiman: 2012, hlm. 75).
Hal ini merupakan sebuah kemendesakan di tengah mencuatnya ketakpedulian terhadap nasib orang lain.
Ketika dalam dunia ditemukan keserakahan yang menjadi-jadi dari mereka yang memiliki kekuasaan, setiap orang dipanggil untuk menjadi agent of change: hadir untuk menyuarakan suara bagi mereka yang miskin, mereka yang tidak bersuara. Bahwasanya solidaritas merupakan tanda keakraban antarsesama manusia.
Selain itu, di tengah situasi dunia yang ditandai oleh adanya jurang pemisah yang lebar antara yang kaya dan miskin, solidaritas antarmanusia mesti diwujudkan dalam penegakan hak-hak asasi manusia.
Hal ini beralasan, “…martabat manusia dibela, jika segala bentuk kekejaman, ketidakadilan, dan ketidakbebasan berkurang” (ibid.)
Untuk sampai pada titik memahami peristiwa sekitar, seorang penyair, lewat proses imaji-kreatifnya, mesti terlebih dulu memiliki kemampuan untuk memahami diri sendiri (cogito me ipsum: aku memahami diriku sendiri).
Ketika sampai pada taraf pemahaman akan diri ini, penyair sadar bahwa dunia yang dihidupinya sedang tidak baik-baik saja. Ia mesti sensitif ketika dunia membedah manusia secara tidak adil.
Arus imperialism baru dengan “anak kandungnya” adalah eksploitasi-kapitalistik terus mendepak masyarakat kecil hingga ke pinggiran.
Relasi kekuasaan memainkan peran penting di sini. Jika seseorang memiliki kekuasaan, ia bebas mengeksploitasi orang lain. Ini tentu sebuah bahaya.
Dengan melihat realitas tersebut, penyair mesti menjadi nabi profetik yang terus menyuarakan kemalangan hidup kaum rentan, seraya berpihak pada kaum yang paling rentan menjadi korban dari kekuasaan.
Penyair mesti berada pada sisi kaum yang tergusur. Di tengah situasi ketidakadilan di mana yang berkuasa menindas yang lemah, penyair mesti berani mengajak khalayak kaum pinggiran untuk membebaskan diri dari keterkekangan tersebut.
Ia mesti mendengarkan panggilan nurani untuk bertanggung jawab atas kehidupan orang lain. Artinya, keluh kesah dan penderitaan liyan menjadi semacam alarm yang mengingatkan penyair.
Itulah tanggung jawab penting penyair. Ia bertanggung jawab secara etis-moral sebab, “tanggung jawab pada prinsipnya merupakan perbuatan atau tindakan untuk menanggapi situasi kemanusiaan” (Felix Baghi: 2012, hlm. 39).
Akhirnya, bukan hanya penyair, panggilan setiap kita adalah panggilan pada suara kaum kecil yang kerapkali digusur hidupnya, yang rentan untuk dieksploitasi. Hanya satu kata yang ditujukan bagi kekuasaan yang acapkali diselewengkan dan berlaku tidak adil, yakni “lawan!” (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.