Opini

Opini: Sastra dan Panggilan Keberpihakan

Hanya satu kata yang ditujukan bagi kekuasaan yang acapkali diselewengkan dan berlaku tidak adil, yakni “lawan!”

Editor: Dion DB Putra
kolase POS-KUPANG.COM
Ilustrasi. 

Meskipun postmodernisme menghadirkan ‘wajah baru’ yang bersahabat, Juergen Habermas (filsuf dan pemikir Jerman) menyatakan bahwa proyek modernism sesungguhnya belum selesai. 

Ketika mendapat penghargaan Adorno Prize pada bulan September 1980, Habermas membawa pidato berjudul: “Modernitas: Sebuah Proyek yang Belum Selesai”.

Dalam pidatonya, Habermas menyodorkan pertanyaan seperti berikut: 

“Apakah modernitas sudah seperti yang dikatakan oleh para postmodernis? Atau apakah kedatangan postmodernitas itu sendiri palsu? Apakah postmodern  merupakan slogan yang secara diam-diam mewarisi sikap afektif yang telah diprovokasi oleh modernitas budaya sebagai reaksi terhadap dirinya sendiri sejak pertengahan abad kesembilan belas?” (Habermas, Modernity: An Unfinished Project, hlm. 38-39).

Habermas menandaskan bahwa modernisme merupakan hasil transisi dari “yang lama” ke “yang baru”. Sebab, lanjut Habermas, setiap kali kesadaran akan era baru berkembang, zaman klasik pun diperbarui. 

“Ini tidak hanya berlaku untuk Renaisans, yang dengannya zaman modern; dimulai bagi kita; orang juga menganggap diri mereka modern; di zaman Charlemagne, di abad kedua belas, dan di Pencerahan” (ibid., hlm. 39).

Dengan demikian, lanjut Habermas, sesungguhnya proyek dari modernitas belumlah selesai. Apa yang dianggap modern sejatinya selalu membarui diri untuk menemukan ekspresi objektifnya sendiri. Tidak ada yang baru dari postmodernisme.

Postmodernisme hanyalah ‘balutan’ dan kelanjutan dari masa lampau. Dengan Bahasa yang indah, Habermas katakan, “the modern still retains a secret connection to the classical” (ibid.).

Sosialitas Manusia dan Panggilan Keberpihakan

Angin modernisme membawa perubahan besar pada manusia. Entah dalam tingkah laku, maupun dalam pola pikir. 

Setiap orang diberi kebebasan untuk mengekspresikan dirinya, sejauh ekspresi tersebut rasional, berterima dan diterima di ruang publik, dan bertanggung jawab. Humanitas dan otonomitas manusia berperan penting dalam diskursus publik.

Sebagaimana dipaparkan sebelumnya, konsekuensi logis dari kelahiran modernisme adalah didepaknya sosialitas manusia. Dengan prinsip otonomi individu, setiap orang berhak berpikir dan bertindak sendiri.

Namun, sebuah fenomena yang mulai pudar: sosialitas manusia. Sosialitas sebagai payung bersama yang dulunya diagungkan, dihayati, dan dijalani dalam tribal mulai pudar secara perlahan. 

Setiap orang sibuk dengan dirinya sendiri, mementingkan ego, sembari mengabaikan sesama. Etika kepedulian sosial mulai hilang di tengah kerumunan individualitas manusia.

Padahal, setiap manusia tidak dapat hidup tanpa kehadiran orang lain (no man is an island). 

Halaman
1234
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved