Opini
Opini: Sastra dan Panggilan Keberpihakan
Hanya satu kata yang ditujukan bagi kekuasaan yang acapkali diselewengkan dan berlaku tidak adil, yakni “lawan!”
Oleh: Kris Ibu
Tinggal di Paroki Ponu, Timor Tengah Utara
POS-KUPANG.COM - Budi Darma, esais asal Rembang, pernah mengemukakan makna karya sastra dalam Solilokui-nya.
Menurutnya, dilatarbelakangi oleh berbagai macam kemungkinan dan penafsiran, karya sastra bukanlah karya yang mengungkapkan kata-kata, juga bukan karya yang mengungkapkan fakta belaka.
Jika demikian, karya sastra tidak mempunyai berbagai macam kemungkinan yang pada akhirnya tidak akan ada pembicaraan mengenai sastra (Budi Darma: 1984, hlm. 90).
Tidak sampai di situ. Budi Darma menegaskan bahwa sastra acapkali mengungkapkan dunia yang aneh. Karya-karya sastra yang berpengaruh senantiasa mengangkat ke permukaan dunia yang tidak beres.
Dengan demikian, seolah-olah dunia yang diungkapkan karya sastra merupakan dunia yang abadi. Keindahan yang dibalut dalam sastra pun acapkali menendang logika, bertentangan dengan akal. Sebab, “Sastra mengungkapkan dunia yang aneh, tidak logis” (ibid., hlm. 91-92).
Ketika seseorang terjebak mengikuti alur Budi Darma ini, sastra yang terbuka banyak kemungkinan dan mengungkapkan dunia yang tidak logis, secara tersirat hendak menegaskan bahwa tidak ada tanggung jawab etis dari pengarang sesudah menghasilkan karyanya. Atau, “pengarang telah mati” ketika karyanya diterbitkan.
Pertanyaannya adalah “Bagaimana mungkin pembaca diberi kebebasan seluas-luasnya untuk menginterpretasi sebuah karya sastra tanpa landasan yang jelas dari pengarang?”
Pada tanggal 17 Juli 2024, Paus Fransiskus, pemimpin tertinggi Gereja Katolik, mengeluarkan sebuah surat tentang peran penting sastra bagi para calon imam, imam, dan semua orang Kristen pada umumnya.
Baginya, dengan membaca sastra, seseorang mengasah kepekaan iman, serentak mengasah kepekaan nurani untuk mendengarkan suara dari orang lain (the others).
Di tengah dunia yang menjunjung tinggi “selamat sendiri-sendiri”, individualisme dan isolasi diri, bagi Paus Fransiskus, sastra membantu manusia peka terhadap misteri orang lain dan dengan itu mampu untuk merangsang kepekaan diri untuk pergi dan menyentuh hati orang lain.
Sebab, sastra mengantar setiap orang untuk “…mengembangkan empati imajinatif yang memungkinkan kita mengidentifikasi dengan cara orang lain melihat, mengalami, dan menanggapi realitas. Tanpa empati tersebut, tidak akan ada solidaritas, berbagi, kasih sayang, dan belas kasihan.”
Dari surat Paus Fransiskus ini, kita tahu dengan sungguh bahwa sastra hendaknya membumi dan berpihak pada kaum rentan.
Dalam karya-karya sastra besar, kita temukan satu titik poin penting: bahwa tulisan yang keluar dari relung hati yang paling dalam selalu mempertautkan antara entah berdasarkan pengalaman pribadi, maupun keresahannya terhadap dunia sekitar.
Atau, dalam bahasa Paul Budi Kleden, kata-kata mesti selalu konkret agar membantu pembaca masuk ke dalam pengembaraan interpretasi (Paul Budi Kleden dan Otto Gusti Madung (edt.): 2009, hlm. 446).
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.